-->

HIMA JAWA SLIDE

  • PROFIL HIMPUNAN MAHASISWA JAWA

    Lembaga kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Semarang, 7 Maret 2008.

  • KEGIATAN-KEGIATAN

    Hima BSJ bersifat demokratis, kekeluargaan, aktif, kreatif, inovatif, relijius, edukatif, dan rekonstruktif.

  • GALERY FOTO

    Galeri foto-foto kegiatan Hima Jawa

  • title of entry 4

    Mewujudkan terciptanya Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa sebagai mahasiswa relijius, intelektual, humanis dan berbudaya.

  • title of entry 5

    Hima BSJ bertempat di Gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Rabu, 09 Januari 2013


KOMENTAR JURI
FESTIVAL DRAMA BERBAHASA JAWA
TINGKAT SMA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2012


1.        Catatan Sosiawan Leak
Juri I Festival Sandiwara Berbahasa Jawa
Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012

BUTUH ENERGI PENYUTRADARAAN

Secara umum, penampilan peserta Festival Sandiwara Berbahasa Jawa Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012 dikuati oleh para pemain yang cenderung berani, sungguh-sungguh dan ekspresif. Namun penyutradaraan yang rata-rata kurang mempertimbangkan berbagai unsur pertunjukan, membuat beberapa kelompok gagal memasuki standard pertunjukan yang menarik apalagi memikat.
Selama dua hari berturut-turut (22-23 Desember 2012), 8 kelompok teater serius sejak melakukan latihan dan adaptasi panggung di Laboratorium Teater & Film Usmar Ismail, FBS Universitas Negeri Semarang di pagi hari, hingga saat pentas di siang, sore dan malam hari. Berbagai alam benda artistik (utamanya setting) pun selalu lalu lalang di angkat-angkat oleh para crew, usai diracik, dirangkai dan disempurnakan detilnya. Demikian pula kostume, make up dan property yang acap ditenteng para pemain kesana-kemari. Para crew musik yang kebanyakan melibatkan personil dalam jumlah besar, selalu menambah kesibukan pra pertunjukan dengan peralatan yang ditata di tempat duduk penonton bagian belakang.
Lantas, selalu saja pemandangan serius serta ekspresi penuh perhitungan mewarnai panggung, saat suatu kelompok dipersilahkan mengatur setting dan artistik pertunjukan. Sebuah tangga lipat selalu menjadi andalan untuk merubah posisi lampu dan memasang barang-barang artistik yang membutuhkan ketinggian. Selalu, semua crew berkesan serius, tergesa, dan tanpa banyak bicara. Selalu ada yang pada akhirnya melakukan pengecekan dengan gerak-gerik paling serius dan paling menyandang beban tanggung jawab terberat.
Di saat seperti itulah sebenarnya masing-masing kelompok sudah menunjukan kesungguhan mereka di atas pentas. Tanpa konsep ketat dan arahan yang berulang-ulang, semua personil sejatinya memerankan karakter dengan naluri keaktoran memikat. Pasalnya, meski berada dalam suatu suasana ketegangan dan “emosi pertunjukan” kuat, para personil yang “terjun” ke panggung itu selalu berbekal karakter individu yang mempribadi. Masing-masing memiliki kadar kecemasan yang berbeda, standard keseriusan dengan gerak-gerik yang tak sama, ekspresi yang beragam, serta dinamika “permainan kelompok” yang terlacak orientasi dan motivasinya. Semua “hidup” dan memiliki alur dramatik, sesederhana apa pun.
Hal itu berbeda dengan penampilan mereka saat pentas, misalnya sebagaimana yang terjadi pada pementasan “Kidung Dzikir ing Samudraning Larahan” (SMA PGRI Kendal) dan “Kluwung” (SMAN 12 Semarang). Para pemain di kedua kelompok itu terlihat tidak mempunyai sandaran tematik (naskah) dan takaran permainan (unsur-unsur keaktoran) yang disepakati dan dipatuhi bersama. Naskah yang tak sempurna alur dramatiknya serta permainan yang dilakukan secara longgar tanpa konsep penyutradaraan yang jelas menjadikan kedua kelompok ini bermain chaos. Struktur antar tokoh berikut korelasinya tak terlacak intensitasnya, sehingga keterkaitan antar mereka cenderung tak menentu. Belakangan, hal itu berakibat pada karakter tokoh cenderung oportunistik. Demikian pula yang terjadi dengan korelasi antara para aktor dengan alam benda artistik yang kerap improvisatris, tanpa pendalaman saat menggunakannya. Di dalam situasi semacam itu tentu saja pengadeganan kerap tersendat. Bangunan konflik yang digarap cenderung zig-zag dan tak menemu timing serta juntrungnya. Permasalahan yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan cepat, gampang terjebak dalam pengadeganan yang bertele-tele. Demikian sebaliknya. Suasana terombang-ambing pada masing-masing pemain yang selalu ingin berkuasa atas fokus dan kepentingan dominasinya. Para pemain di kedua kelompok tersebut sungguh membutuhkan peran sutradara yang mampu mengkoordinasikan seluruh kekuatan pada porsi yang berbeda-beda namun saling terkait dan mendukung keutuhan pertunjukan. Keutuhan yang sejak awal dilandasi oleh pemilihan naskah yang jelas tema permasalahan serta struktur dramatiknya. Keutuhan yang pada saat presentasi merupakan langkah terorganisir dari seluruh unsur pementasan teater (aktor, artistik, ilustrasi, konsep garapan) dalam menafsir gagasan setiap bagian naskah secara sistematik dan utuh.
Tiga pementasan lain yakni, “Kembang Abang Mbranang” (SMAN 1 Ungaran), “Omah Kerdus” (SMAN 2 Ungaran), dan “Lintang Nyemplung Blumbang” (SMA PMS Kendal), berada dalam satu tataran, berkut problem yang tak jauh berbeda. Kematangan naskah yang mendistribsikan permasalahan kepada para tokoh berikut latar belakangannya, mempermudah pemain menafsir dan mempresentasikannya di panggung. Korelasi antar tokoh yang terusung lewat dialog dan sikap antar mereka, jika dicermati bakal mempermudah membentuk karakter yang mereka perankan. Meski demikian, tentu saja ada beberapa hal yang membedakan bobot naskah itu tatkala dimainkan. “Kembang Abang Mbranang” misalnya memiliki kompleksitas konflik yang kian ke belakang kian membutuhkan kesigapan merancang adeganan. Lantaran tempo permainan dan paparan permasalahan yang semakin dinamis lewat kepentingan berbagai tokoh yang muncul (Aliyah, Den Harjo, Amat, Polisi). Ditambah Ujang yang cenderung berdialog simbolik, menuntut penafsiran yang lebih mengarah ke perasaan “dalam”. Ending yang mengambang juga menjelma kerumitan tersendiri, apalagi jika kematian Aliya tak menemu ketragisannya.
Hampir sama dengan ending “Lintang Nyemplung Blumbang” yang mengkisahkan kematian Simbok yang (tak sengaja) terbekap napasnya oleh bantal yang ditekan Jamal anaknya. Bedanya, kompleksitas naskah ini tak melibatkan banyak tokoh dengan berbagai konflik kepentingan. Hanya Rini dan Jamal yang berkonflik, antara bertahan atau pindah dari daerah rawan penggusuran itu.
Penyelesaian “Omah Kerdus” malah lebih sederhana lagi. Dengan kejelasan ending yang mewajibkan para penghuni liar pindah dari suatu areal pemukiman. Suasana anti konflik terasa dan mendarat landai, tanpa dinamika. Namun justru pada naskah lakon semacam inilah peran penyutradaraan dibutuhkan optimal. Utamanya untuk mengangkat bagian tempo pertunjukan yang sepi dan merayap lewat potensi keaktoran dan artistik.
Namun nyatanya, di ketiga reportoar tersebut porsi naskah lebih merasuki para pemain. Dalam “Kembang Abang Mbranang”, takaran Aliyah yang berlebih hingga seolah histeris di sepanjang pertunjukan, telah “menghabisi” permainan tokoh lainnya. Bahkan Ujang dan Sumirah (Ibu Aliyah) yang semestinya bisa menonjol, gagal membentuk karakter kharismatiknya. Enerji penyutradaraan kurang menyentuh daya dialog kedua tokoh yang tidak meledak-ledak itu. Dalam “Lintang Nyemplung Blumbang”, kekuatan naskah nyata menginspirasi pola dialog para pemain, utamanya Rini dan Jamal. Hal itu jelas ketika emosi permainan keduanya kian menanjak seiring dengan adegan yang kian memanas. Hingga akhirnya karakter mereka utuh terbangun saat bertentangan keras di akhir pertunjukan. Padahal di awal pertunjukan permaianan keduanya datar dan tidak menarik lantaran penyutradaraan kurang memfasilitasi pembangunan karakter mereka. Meski begitu, peran kelompok musik meramu ilustrasi iringan secara kreatif telah memperkuat capaian suasana yang relevan dengan alur dramatik,
Itu pula yang terjadi pada “Omah Kerdus”. Hanya pada bagian-bagian konflik verbal saja permainan menunjukkan daya optimal. Sebelum dan setelahnya, mereka kurang natural, artifisial atau bermain sekadar. Enerji penyutradaraan tak menyentuh wilayah itu untuk mengimbangi kekuatan naskah yang kadang muncul pada bagian lain. Sehingga pada ketiga kelompok itu selalu ada bagian yang seolah hilang tanpa terasa. Bagian yang senyatanya membutuhkan perhatian lebih dari sutradara. Termasuk setting dan property yang melatari “Kembang Abang Mbranang” dan “Omah Kerdus” dengan artifisial. Atau “Lintang Nyemplung Blumbang” yang kurang berorientasi pada ruang-ruang realis sebagaimana yang hendak mereka tampilkan.
Tidak sebagaimana halnya “Layung Sore” (SMKN 2 Semarang) dan “Kanjeng Ratu” (SMAN 7 Solo) yang menata artistik mendekati realitas rekaan mereka, yakni kawasan pemukiman liar pinggir rel kereta dan rumah bekas juragan batik. Kedua kelompok ini melunasi standard artistik berkonsep realis dengan tekanan yang berbeda. SMKN 2 Semarang menekankan efektivitas dan meruang, SMAN 7 Solo menyajikan detilnya, termasuk detil musik yang menguati tiap suasana. Pada sisi permainan, keduanya mampu menampilkan tokoh-tokoh yang jelas perbedaan karakter berikut fungsi dan perannya di dalam alur cerita. Sehingga dinamika pementasan senantiasa mengalirkan berbagai konflik yang jelas muaranya didukung oleh interaksi antar tokoh yang mewakili berbagai nilai dan gagasan sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Satu menyoal problem masyarakat marjinal yang penuh dengan tekanan ekonomi dan intrik-intrik naif, satu menyoal romantisme kejayaan ekonomi di masa lampau. Sejak awal pertunjukan keduanya dikuati oleh daya penyutradaraan yang mampu membangun pengadeganan menarik lewat kekuatan pemeranan yang seimbang di antara para pemain. Hal semacam itu yang gagal dicapai oleh SMAN 1 Klirong saat mementaskan “Cedak Karo Akhire Jaman”. Meski kelompok ini berhasil memunculkan Senapati, Resi Waskita & Panut sebagai lokomotif pementasan yang bermain ideal menyampaikan pesan naskah, namun sutradara tak mampu meracik adegan-adegan kolosal, pada separo pementasan terakhir. Tidak sebagaimana ketiga tokoh tersebut, tokoh-tokoh lain cenderung bermain teknis dan kurang menjiwai. Permasalahan permaianan ini linear dengan permasalahan setting yang mereka tampilkan. Setting yang menggambarkan suasana di dalam gua nampak representatif dan terkonsep, sementara setting di luar gua (pasar) kurang mewakili dengan apa yang dikehendaki.

Solo, 26 Desember 2012


2.        Catatan Kahar DP.
Juri II Festival Sandiwara Berbahasa Jawa
Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012

Menggali  Struktur, Mencari Tanda
(catatan yang diringkas dari FDBJ 2012)

I
Gerimis telah jatuh di atas kepala, tepat di depan laboratorium Teater Umar Ismail, 22 Desember 2012. Diiringi salam hangat dan tegur sapa santun dari panitia, saya bergegas masuk ‘gedung teater’ dan menempati tempat duduk yang telah dipersiapkan panitia. Segera, saya mengamati dua pewara yang membuka acara dengan bahasa Jawa krama yang menawan. Mantap! Semantap posisi tempat duduk saya untuk menyaksikan penampilan drama para peserta.

II
Pertunjukan drama mencakupi perencanaan, latihan, dan pertunjukan. Keberhasilan pertunjukan drama menuntut kerja keras tim untuk mengajak penonton menuju tujuan pertunjukan. Semua hal yang dipertunjukkan di atas pentas dalam kerangka dramatikal adalah struktur dan tanda

III
Sumirah: Dhasar bajul! Sampeyan medal mawon. Medal saking griya kula Den!!!
Menyaksikan tampilan drama pertama ini (Kembang Abang Mbranang), saya melihat kepintaran pada tahap perencanaan. Pemilihan naskah yang bagus, diadaptasi ke dalam bahasa Jawa dengan bagus pula. Pendalaman terhadap proses pemeranan (acting) Sumirah patut mendapatkan pujian. Dialog, mimik, gerak, dan vokal dieksplorasi dengan sangat baik. Pun Amat. Keduanya berhasil membawa penonton masuk ke dalam alur cerita. Aliyah juga tampil cukup baik; hanya saja pemberian isi dalam dialog dan kontrol Aliyah tidak sebagus Sumirah. Kostum para pemain (termasuk Den Harjo, Ujang, Polisi, anak sekolah) sangat mendukung alur cerita. Di sisi lain, pemeranan Den Harjo (yang memiliki tawa artifisial), Ujang (yang memunyai masalah dengan artikulasi), anak sekolah (yang irit penjiwaan), dan polisi (yang kurang memunyai waktu untuk berlatih) sempat membuat dahi saya berkerut. Andai mereka berlatih sekeras Sumirah.
Kru tata lampu! Peralihan babak kurang diperhatikan oleh mereka. Ah, mungkin mereka hanya tidak punya waktu banyak untuk berlatih! Dan di akhir cerita, Rendra datang dan menolong mereka.

Gentho: Wong aku iki preman sing cinta peraturan kok!
Eksposisi penampil kedua ini (Omah Kerdus) dibawakan dengan bagus. Pembacaan geguritan oleh Bejo pada tahap ini sangat unik dan menarik perhatian penonton. Bejo tidak sendiri. Kru tata lampu cukup sigap turut membangun suasana. Pemaksimalan lampu sorot pada akhir geguritan yang dibawakan oleh Bejo  memberikan kontribusi banyak dalam pembangunan suasana.  Hanya saja Sumi memunyai masalah dengan volume…tetapi gesture nya menggairahkan! Permainan peran tokoh Emak yang muncul kemudian turut memberikan ‘suntikan darah’ pada adegan 3. Penjiwaan, kostum, mimik, tata arias Emak sungguh membantu Bejo mempertahankan perhatian penonton pada alur cerita. Selain itu, kekuatan ekspresi Gentho sangat menonjol dalam pentas kedua ini. Pemeranannya sangat terlihat alami. Tampilan kedua ini juga didukung oleh set panggung yang sugestif.
Sayang, ruang surprise dan suspense drama ini tidak sekuat penampilan pertama dan musik seringkali overlap dan kurang memerhatikan dinamika.

Paimin: Wah bajirut tenan, rak nembus nomerku!
Menyaksikan penampilan ketiga (Kidung Dzikir Ing Samudraning Larahan), saya merasa terharu dengan keberanian Pak Ngatna (njengat kena) dan tim untuk memilih sebuah naskah yang ‘unik’ untuk dipentaskan. Pun kenekadan membangun eksposisi ‘realis’ yang sangat panjang. Lalu, dimanakah letak hubungan antara keberanian, struktur sastra, dan semiotika sastra? Sampai hari ini belum ada. Namun, drama ‘realis-horor-komedi’ ini sangat orisinil. Suster ngesot dan buta ijo menambah keorisinilan ide, fenomena seperti itulah yang sering kita saksikan (di televisi). Satu hentakan yang cukup menarik (setelah menunggu sekian lama) yakni klimaks.  Apabila digarap dengan lebih berhati-hati, klimaks ini tentunya akan lebih mengembalikan alur pada premis cerita. Sebuah catatan kebahasaan lebih menarik untuk saya buat yaitu ‘tak balang be ha’, ‘ngentot’, ‘bajirut’, ‘contongan’, ‘shit’, dan lain-lain. Bahwa puluhan kosakata ‘ragam bahasa rendah’ memperkuat realisme adalah keniscayaan. Namun, tim ini terlalu asyik bereksposisi dengan ragam itu sehingga penonton sangat sulit masuk pada alur cerita. Pada akhirnya saya bangga dengan semangat Sunarminuk (dan teman-teman) untuk mengikuti ajang ekspresi sastra ini. Keinginan terbesar dalam diri saya adalah menyaksikan ‘garapan” lain dari tim ini; sebuah ‘garapan’ yang melibatkan sentuhan sastrawan sebagai pembimbing (selain guru tentunya) dengan naskah yang berbeda pula. Dan akhirmya Waginah (pek nget-apek anget) tetap berani mengacuhkan lampu panitia (tanda waktu habis). Mmmm…Saya suka keberanian mereka.

Bakul barang Antik: Nek bar pentas kue ajah langsung turu, raup disit, wudu, trus sembayang disit!
Penampilan keempat, Cedhak Karo Akhiré Jaman, menyuguhkan tata set yang memberikan kesan sesuai dengan tema naskah. Tata set gua dan pasar cukup rapi ditata walaupun pemanfaatan oleh pemain kurang maksimal. Penggambaran tokoh Senopati, Resi, dan Panut cukup baik dilakukan. Pada bagian eksposisi, sejenak saya teringat kisah ‘pemberontakan’ ‘penggedhe’ Mataram yang lari ke wilayah Banyumas. Senopati, Resi, dan Panut berusaha untuk berdialek ‘timur’, namun sayang, bagi saya pemeranan mereka menjadi artifisial. Namun, gangguan kecil ini ditutupi oleh ketegasan dan intensitas karakter Senopati.
Adegan berikutnya, suasanan di sebuah pasar. Saya menyayangkan penjiwaan dan mimik penjual buku. Dan dialek yang dia gunakan. Saya sebenarnya berharap penjual buku ini tetap menggunakan dialek ‘wilayah barat’ yang saya yakin akan lebih membantu dialognya. Karena toh dialek merupakan kearifan lokal yang patut kita hargai. Pada babak ini, saya menemukan dialog tanpa suara; ketika penjual sayur lupa akan dialog yang menjadi tanggung jawabnya. Juga beberapa kali saya menyaksikan kedudukan aktor (blocking) yang kurang sempurna. Bu Renggo dan tiga Petugas Pasar harus lebih giat berlatih untuk hal ini. 


Kluwung kui yo …atine wong wadon
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga penataan set penampil kelima ini. Namun, pemanfaatan set yang telah tertata (lama) ternyata kurang maksimal. Para pemain terlihat membawa beban yang berat dalam dialog-dialognya. Mungkin mereka terbebani dengan muatan filsafat. Muatan itu juga kurang begitu terdengar karena volume mereka tidak sampai ke telinga penonton. Dan akhirnya penonton perlu berfikir selama tiga menit setelah drama usai untuk bertepuk tangan,  sebuah kejanggalan. Kesempatan lain, saya juga ingin menyaksikan penampilan tim ini dengan naskah yang berbeda, semoga


Mirah: Kedhung dhuwit, sugih bandha bandhu…
Akhirnya, saya tidak perlu lagi  bersusah payah menggali struktur dan mencari tanda dalam tampilan Kanjeng Ratu. Saya hanya perlu mengatur posisi duduk saya (posisi ternyaman). Ananto dan kawan-kawan dengan enteng menuntun saya ‘melihat struktur’ dan ‘membaca tanda’ (tak perlu mencari lagi). Tim ini menolong diri mereka sendiri; kerja keras selama proses perencanaan, latihan, dan pertunjukan tampak nyata. Pada akhirnya, Mirah, Kamil, sutradara, dan kru berhasil membawa penonton menuju tujuan pementasan.


Yati: Aduhhh…Dhe, selak ngompol ning kathok iki!
Set panggung realis sungguh memukau penonton pada tampilan keenam ini. Set WC umum dari seng bekas sangat sederhana, namun sangat kuat dalam memberikan ‘tanda’ (index) sehingga penonton dengan cepat memahami plot cerita ini (Layung Sore). Penata suara cukup kreatif memasukkan rekaman suara kereta api yang melintas sehingga turut membangun nuansa cerita.  Kemampuan penjiwaan semua tokoh sangat merata. Yati yang memiliki bakat alami memiliki control bermain yang baik. Kekuatan ekspresi Sulastri dan kelihaian berimprovisasi Dhe Noto turut menjaga perhatian penonton. Bu Sutras, Bu Sugani juga memiliki kekuatan ekspresi yang dapat melupakan penonton akan suara kereta api. Pagi hari, dua kali kereta lewat. Namun sampai akhir cerita kereta tidak lewat lagi. Kejutan-kejutan logis ditampilkan dengan baik, dan konflik sangat jelas terlihat. Lampu sorot pada Bu Sugani menambah kesan dramatis pada akhir cerita.


Simbok: Modaar…!! Yen carane ngono, jamal bisa mati Rin…!
Pada tampilan terakhir ini (Lintang Nyemplung ing Blumbang), saya beranggapan bahwa kekuatan ekspresi tokoh Rini cukup lemah, pun Bapak Kepala. Tokoh Rini sering berdialog tanpa kata (lupa) dan sering menyertakan interferensi bahasa Indonesia. Simbok dan Jamal-lah yang dapat menghidupkan cerita. Gerak, mimik, kostum, tata rias, dan ekspresi Simbok sangat memukau.

IV
Festival telah usai, namun alur masih berjalan. Semua tokoh harus terus membaca tanda-tanda karena semua tanda memunyai arti: pembinaan.

Salatiga, 23 Desember 2012

Kahar DP




Tidak ada komentar:

Posting Komentar