KOMENTAR
JURI
FESTIVAL
DRAMA BERBAHASA JAWA
TINGKAT
SMA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2012
1.
Catatan Sosiawan Leak
Juri I Festival Sandiwara Berbahasa
Jawa
Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012
BUTUH ENERGI PENYUTRADARAAN
Secara umum, penampilan peserta
Festival Sandiwara Berbahasa Jawa Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012 dikuati oleh
para pemain yang cenderung berani, sungguh-sungguh dan ekspresif. Namun
penyutradaraan yang rata-rata kurang mempertimbangkan berbagai unsur pertunjukan,
membuat beberapa kelompok gagal memasuki standard pertunjukan yang menarik
apalagi memikat.
Selama dua hari berturut-turut (22-23
Desember 2012), 8 kelompok teater serius sejak melakukan latihan dan adaptasi
panggung di Laboratorium Teater & Film Usmar Ismail, FBS Universitas Negeri
Semarang di pagi hari, hingga saat pentas di siang, sore dan malam hari.
Berbagai alam benda artistik (utamanya setting) pun selalu lalu lalang
di angkat-angkat oleh para crew, usai diracik, dirangkai dan
disempurnakan detilnya. Demikian pula kostume, make up dan property
yang acap ditenteng para pemain kesana-kemari. Para crew musik yang
kebanyakan melibatkan personil dalam jumlah besar, selalu menambah kesibukan
pra pertunjukan dengan peralatan yang ditata di tempat duduk penonton bagian
belakang.
Lantas, selalu saja pemandangan serius
serta ekspresi penuh perhitungan mewarnai panggung, saat suatu kelompok
dipersilahkan mengatur setting dan artistik pertunjukan. Sebuah tangga
lipat selalu menjadi andalan untuk merubah posisi lampu dan memasang
barang-barang artistik yang membutuhkan ketinggian. Selalu, semua crew
berkesan serius, tergesa, dan tanpa banyak bicara. Selalu ada yang pada
akhirnya melakukan pengecekan dengan gerak-gerik paling serius dan paling
menyandang beban tanggung jawab terberat.
Di saat seperti itulah sebenarnya
masing-masing kelompok sudah menunjukan kesungguhan mereka di atas pentas.
Tanpa konsep ketat dan arahan yang berulang-ulang, semua personil sejatinya
memerankan karakter dengan naluri keaktoran memikat. Pasalnya, meski berada
dalam suatu suasana ketegangan dan “emosi pertunjukan” kuat, para personil yang
“terjun” ke panggung itu selalu berbekal karakter individu yang mempribadi.
Masing-masing memiliki kadar kecemasan yang berbeda, standard keseriusan dengan
gerak-gerik yang tak sama, ekspresi yang beragam, serta dinamika “permainan
kelompok” yang terlacak orientasi dan motivasinya. Semua “hidup” dan memiliki
alur dramatik, sesederhana apa pun.
Hal itu berbeda dengan penampilan
mereka saat pentas, misalnya sebagaimana yang terjadi pada pementasan “Kidung
Dzikir ing Samudraning Larahan” (SMA PGRI Kendal) dan “Kluwung” (SMAN 12
Semarang). Para pemain di kedua kelompok itu terlihat tidak mempunyai sandaran
tematik (naskah) dan takaran permainan (unsur-unsur keaktoran) yang disepakati
dan dipatuhi bersama. Naskah yang tak sempurna alur dramatiknya serta permainan
yang dilakukan secara longgar tanpa konsep penyutradaraan yang jelas menjadikan
kedua kelompok ini bermain chaos. Struktur antar tokoh berikut
korelasinya tak terlacak intensitasnya, sehingga keterkaitan antar mereka
cenderung tak menentu. Belakangan, hal itu berakibat pada karakter tokoh
cenderung oportunistik. Demikian pula yang terjadi dengan korelasi antara para
aktor dengan alam benda artistik yang kerap improvisatris, tanpa pendalaman
saat menggunakannya. Di dalam situasi semacam itu tentu saja pengadeganan kerap
tersendat. Bangunan konflik yang digarap cenderung zig-zag dan tak
menemu timing serta juntrungnya. Permasalahan yang sebenarnya dapat
diselesaikan dengan cepat, gampang terjebak dalam pengadeganan yang
bertele-tele. Demikian sebaliknya. Suasana terombang-ambing pada masing-masing
pemain yang selalu ingin berkuasa atas fokus dan kepentingan dominasinya. Para
pemain di kedua kelompok tersebut sungguh membutuhkan peran sutradara yang
mampu mengkoordinasikan seluruh kekuatan pada porsi yang berbeda-beda namun
saling terkait dan mendukung keutuhan pertunjukan. Keutuhan yang sejak awal
dilandasi oleh pemilihan naskah yang jelas tema permasalahan serta struktur
dramatiknya. Keutuhan yang pada saat presentasi merupakan langkah terorganisir
dari seluruh unsur pementasan teater (aktor, artistik, ilustrasi, konsep
garapan) dalam menafsir gagasan setiap bagian naskah secara sistematik dan utuh.
Tiga pementasan lain yakni, “Kembang
Abang Mbranang” (SMAN 1 Ungaran), “Omah Kerdus” (SMAN 2 Ungaran), dan “Lintang
Nyemplung Blumbang” (SMA PMS Kendal), berada dalam satu tataran, berkut problem
yang tak jauh berbeda. Kematangan naskah yang mendistribsikan permasalahan
kepada para tokoh berikut latar belakangannya, mempermudah pemain menafsir dan
mempresentasikannya di panggung. Korelasi antar tokoh yang terusung lewat
dialog dan sikap antar mereka, jika dicermati bakal mempermudah membentuk
karakter yang mereka perankan. Meski demikian, tentu saja ada beberapa hal yang
membedakan bobot naskah itu tatkala dimainkan. “Kembang Abang Mbranang”
misalnya memiliki kompleksitas konflik yang kian ke belakang kian membutuhkan
kesigapan merancang adeganan. Lantaran tempo permainan dan paparan permasalahan
yang semakin dinamis lewat kepentingan berbagai tokoh yang muncul (Aliyah, Den
Harjo, Amat, Polisi). Ditambah Ujang yang cenderung berdialog simbolik,
menuntut penafsiran yang lebih mengarah ke perasaan “dalam”. Ending yang
mengambang juga menjelma kerumitan tersendiri, apalagi jika kematian Aliya tak
menemu ketragisannya.
Hampir sama dengan ending “Lintang
Nyemplung Blumbang” yang mengkisahkan kematian Simbok yang (tak sengaja)
terbekap napasnya oleh bantal yang ditekan Jamal anaknya. Bedanya, kompleksitas
naskah ini tak melibatkan banyak tokoh dengan berbagai konflik kepentingan.
Hanya Rini dan Jamal yang berkonflik, antara bertahan atau pindah dari daerah
rawan penggusuran itu.
Penyelesaian “Omah Kerdus” malah lebih
sederhana lagi. Dengan kejelasan ending yang mewajibkan para penghuni
liar pindah dari suatu areal pemukiman. Suasana anti konflik terasa dan
mendarat landai, tanpa dinamika. Namun justru pada naskah lakon semacam inilah
peran penyutradaraan dibutuhkan optimal. Utamanya untuk mengangkat bagian tempo
pertunjukan yang sepi dan merayap lewat potensi keaktoran dan artistik.
Namun nyatanya, di ketiga reportoar
tersebut porsi naskah lebih merasuki para pemain. Dalam “Kembang Abang
Mbranang”, takaran Aliyah yang berlebih hingga seolah histeris di sepanjang
pertunjukan, telah “menghabisi” permainan tokoh lainnya. Bahkan Ujang dan
Sumirah (Ibu Aliyah) yang semestinya bisa menonjol, gagal membentuk karakter
kharismatiknya. Enerji penyutradaraan kurang menyentuh daya dialog kedua tokoh
yang tidak meledak-ledak itu. Dalam “Lintang Nyemplung Blumbang”, kekuatan
naskah nyata menginspirasi pola dialog para pemain, utamanya Rini dan Jamal.
Hal itu jelas ketika emosi permainan keduanya kian menanjak seiring dengan
adegan yang kian memanas. Hingga akhirnya karakter mereka utuh terbangun saat
bertentangan keras di akhir pertunjukan. Padahal di awal pertunjukan permaianan
keduanya datar dan tidak menarik lantaran penyutradaraan kurang memfasilitasi
pembangunan karakter mereka. Meski begitu, peran kelompok musik meramu
ilustrasi iringan secara kreatif telah memperkuat capaian suasana yang relevan
dengan alur dramatik,
Itu pula yang terjadi pada “Omah
Kerdus”. Hanya pada bagian-bagian konflik verbal saja permainan menunjukkan
daya optimal. Sebelum dan setelahnya, mereka kurang natural, artifisial
atau bermain sekadar. Enerji penyutradaraan tak menyentuh wilayah itu untuk
mengimbangi kekuatan naskah yang kadang muncul pada bagian lain. Sehingga pada
ketiga kelompok itu selalu ada bagian yang seolah hilang tanpa terasa. Bagian
yang senyatanya membutuhkan perhatian lebih dari sutradara. Termasuk setting
dan property yang melatari “Kembang Abang Mbranang” dan “Omah Kerdus”
dengan artifisial. Atau “Lintang Nyemplung Blumbang” yang kurang
berorientasi pada ruang-ruang realis sebagaimana yang hendak mereka tampilkan.
Tidak sebagaimana halnya “Layung Sore”
(SMKN 2 Semarang) dan “Kanjeng Ratu” (SMAN 7 Solo) yang menata artistik
mendekati realitas rekaan mereka, yakni kawasan pemukiman liar pinggir rel
kereta dan rumah bekas juragan batik. Kedua kelompok ini melunasi standard
artistik berkonsep realis dengan tekanan yang berbeda. SMKN 2 Semarang
menekankan efektivitas dan meruang, SMAN 7 Solo menyajikan detilnya, termasuk
detil musik yang menguati tiap suasana. Pada sisi permainan, keduanya mampu
menampilkan tokoh-tokoh yang jelas perbedaan karakter berikut fungsi dan
perannya di dalam alur cerita. Sehingga dinamika pementasan senantiasa mengalirkan
berbagai konflik yang jelas muaranya didukung oleh interaksi antar tokoh yang
mewakili berbagai nilai dan gagasan sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Satu menyoal problem masyarakat marjinal yang penuh
dengan tekanan ekonomi dan intrik-intrik naif, satu menyoal romantisme kejayaan
ekonomi di masa lampau. Sejak awal pertunjukan keduanya dikuati oleh daya
penyutradaraan yang mampu membangun pengadeganan menarik lewat kekuatan
pemeranan yang seimbang di antara para pemain. Hal semacam itu yang gagal
dicapai oleh SMAN 1 Klirong saat mementaskan “Cedak Karo Akhire Jaman”. Meski
kelompok ini berhasil memunculkan Senapati, Resi Waskita & Panut sebagai
lokomotif pementasan yang bermain ideal menyampaikan pesan naskah, namun sutradara
tak mampu meracik adegan-adegan kolosal, pada separo pementasan terakhir. Tidak
sebagaimana ketiga tokoh tersebut, tokoh-tokoh lain cenderung bermain teknis
dan kurang menjiwai. Permasalahan permaianan ini linear dengan
permasalahan setting yang mereka tampilkan. Setting yang
menggambarkan suasana di dalam gua nampak representatif dan terkonsep,
sementara setting di luar gua (pasar) kurang mewakili dengan apa yang
dikehendaki.
Solo, 26 Desember 2012
2.
Catatan Kahar DP.
Juri II Festival Sandiwara Berbahasa
Jawa
Tingkat SMTA Se-Jawa Tengah 2012
Menggali
Struktur, Mencari Tanda
(catatan yang diringkas dari FDBJ
2012)
I
Gerimis telah jatuh di
atas kepala, tepat di depan laboratorium Teater Umar Ismail, 22 Desember 2012.
Diiringi salam hangat dan tegur sapa santun dari panitia, saya bergegas masuk
‘gedung teater’ dan menempati tempat duduk yang telah dipersiapkan panitia.
Segera, saya mengamati dua pewara yang membuka acara dengan bahasa Jawa krama yang menawan. Mantap! Semantap
posisi tempat duduk saya untuk menyaksikan penampilan drama para peserta.
II
Pertunjukan drama
mencakupi perencanaan, latihan, dan pertunjukan. Keberhasilan pertunjukan drama
menuntut kerja keras tim untuk mengajak penonton menuju tujuan pertunjukan.
Semua hal yang dipertunjukkan di atas pentas dalam kerangka dramatikal adalah
struktur dan tanda
III
Sumirah:
Dhasar bajul! Sampeyan medal mawon. Medal saking griya kula Den!!!
Menyaksikan tampilan
drama pertama ini (Kembang Abang Mbranang),
saya melihat kepintaran pada tahap perencanaan. Pemilihan naskah yang bagus,
diadaptasi ke dalam bahasa Jawa dengan bagus pula. Pendalaman terhadap proses
pemeranan (acting) Sumirah patut mendapatkan pujian.
Dialog, mimik, gerak, dan vokal dieksplorasi dengan sangat baik. Pun Amat.
Keduanya berhasil membawa penonton masuk ke dalam alur cerita. Aliyah juga
tampil cukup baik; hanya saja pemberian isi dalam dialog dan kontrol Aliyah
tidak sebagus Sumirah. Kostum para pemain (termasuk Den Harjo, Ujang, Polisi,
anak sekolah) sangat mendukung alur cerita. Di sisi lain, pemeranan Den Harjo
(yang memiliki tawa artifisial), Ujang (yang memunyai masalah dengan
artikulasi), anak sekolah (yang irit penjiwaan), dan polisi (yang kurang
memunyai waktu untuk berlatih) sempat membuat dahi saya berkerut. Andai mereka
berlatih sekeras Sumirah.
Kru tata lampu!
Peralihan babak kurang diperhatikan oleh mereka. Ah, mungkin mereka hanya tidak
punya waktu banyak untuk berlatih! Dan di akhir cerita, Rendra datang dan
menolong mereka.
Gentho:
Wong aku iki preman sing cinta peraturan kok!
Eksposisi penampil
kedua ini (Omah Kerdus) dibawakan
dengan bagus. Pembacaan geguritan oleh Bejo pada tahap ini sangat unik dan
menarik perhatian penonton. Bejo tidak sendiri. Kru tata lampu cukup sigap
turut membangun suasana. Pemaksimalan lampu sorot pada akhir geguritan yang dibawakan oleh Bejo memberikan kontribusi banyak dalam
pembangunan suasana. Hanya saja Sumi
memunyai masalah dengan volume…tetapi gesture
nya menggairahkan! Permainan peran tokoh Emak yang muncul kemudian turut
memberikan ‘suntikan darah’ pada adegan 3. Penjiwaan, kostum, mimik, tata arias
Emak sungguh membantu Bejo mempertahankan perhatian penonton pada alur cerita.
Selain itu, kekuatan ekspresi Gentho sangat menonjol dalam pentas kedua ini.
Pemeranannya sangat terlihat alami. Tampilan kedua ini juga didukung oleh set
panggung yang sugestif.
Sayang, ruang surprise
dan suspense drama ini tidak sekuat penampilan pertama dan musik seringkali overlap dan kurang memerhatikan
dinamika.
Paimin:
Wah bajirut tenan, rak nembus nomerku!
Menyaksikan penampilan
ketiga (Kidung Dzikir Ing Samudraning
Larahan), saya merasa terharu dengan keberanian Pak Ngatna (njengat kena) dan tim untuk memilih
sebuah naskah yang ‘unik’ untuk dipentaskan. Pun kenekadan membangun eksposisi
‘realis’ yang sangat panjang. Lalu, dimanakah letak hubungan antara keberanian,
struktur sastra, dan semiotika sastra? Sampai hari ini belum ada. Namun, drama
‘realis-horor-komedi’ ini sangat orisinil. Suster ngesot dan buta ijo
menambah keorisinilan ide, fenomena seperti itulah yang sering kita saksikan
(di televisi). Satu hentakan yang cukup menarik (setelah menunggu sekian lama)
yakni klimaks. Apabila digarap dengan
lebih berhati-hati, klimaks ini tentunya akan lebih mengembalikan alur pada premis
cerita. Sebuah catatan kebahasaan lebih menarik untuk saya buat yaitu ‘tak balang be ha’, ‘ngentot’, ‘bajirut’,
‘contongan’, ‘shit’, dan lain-lain. Bahwa puluhan kosakata ‘ragam bahasa
rendah’ memperkuat realisme adalah keniscayaan. Namun, tim ini terlalu asyik
bereksposisi dengan ragam itu sehingga penonton sangat sulit masuk pada alur
cerita. Pada akhirnya saya bangga dengan semangat Sunarminuk (dan teman-teman)
untuk mengikuti ajang ekspresi sastra ini. Keinginan terbesar dalam diri saya
adalah menyaksikan ‘garapan” lain dari tim ini; sebuah ‘garapan’ yang
melibatkan sentuhan sastrawan sebagai pembimbing (selain guru tentunya) dengan naskah yang berbeda pula. Dan akhirmya
Waginah (pek nget-apek anget) tetap berani
mengacuhkan lampu panitia (tanda waktu habis). Mmmm…Saya suka keberanian
mereka.
Bakul
barang Antik: Nek bar pentas kue ajah langsung turu, raup disit, wudu, trus
sembayang disit!
Penampilan keempat, Cedhak Karo Akhiré Jaman, menyuguhkan
tata set yang memberikan kesan sesuai dengan tema naskah. Tata set gua dan
pasar cukup rapi ditata walaupun pemanfaatan oleh pemain kurang maksimal.
Penggambaran tokoh Senopati, Resi, dan Panut cukup baik dilakukan. Pada bagian
eksposisi, sejenak saya teringat kisah ‘pemberontakan’ ‘penggedhe’ Mataram yang lari ke wilayah Banyumas. Senopati, Resi,
dan Panut berusaha untuk berdialek ‘timur’, namun sayang, bagi saya pemeranan
mereka menjadi artifisial. Namun, gangguan kecil ini ditutupi oleh ketegasan
dan intensitas karakter Senopati.
Adegan berikutnya,
suasanan di sebuah pasar. Saya menyayangkan penjiwaan dan mimik penjual buku.
Dan dialek yang dia gunakan. Saya sebenarnya berharap penjual buku ini tetap
menggunakan dialek ‘wilayah barat’ yang saya yakin akan lebih membantu
dialognya. Karena toh dialek merupakan kearifan lokal yang patut kita hargai.
Pada babak ini, saya menemukan dialog tanpa suara; ketika penjual sayur lupa
akan dialog yang menjadi tanggung jawabnya. Juga beberapa kali saya menyaksikan
kedudukan aktor (blocking) yang
kurang sempurna. Bu Renggo dan tiga Petugas Pasar harus lebih giat berlatih
untuk hal ini.
Kluwung
kui yo …atine wong wadon
Alhamdulillah, akhirnya
selesai juga penataan set penampil kelima ini. Namun, pemanfaatan set yang
telah tertata (lama) ternyata kurang maksimal. Para pemain terlihat membawa
beban yang berat dalam dialog-dialognya. Mungkin mereka terbebani dengan muatan
filsafat. Muatan itu juga kurang begitu terdengar karena volume mereka tidak
sampai ke telinga penonton. Dan akhirnya penonton perlu berfikir selama tiga
menit setelah drama usai untuk bertepuk tangan,
sebuah kejanggalan. Kesempatan lain, saya juga ingin menyaksikan
penampilan tim ini dengan naskah yang berbeda, semoga
Mirah:
Kedhung dhuwit, sugih bandha bandhu…
Akhirnya, saya tidak
perlu lagi bersusah payah menggali
struktur dan mencari tanda dalam tampilan Kanjeng
Ratu. Saya hanya perlu mengatur posisi duduk saya (posisi ternyaman).
Ananto dan kawan-kawan dengan enteng menuntun saya ‘melihat struktur’ dan
‘membaca tanda’ (tak perlu mencari lagi). Tim ini menolong diri mereka sendiri;
kerja keras selama proses perencanaan, latihan, dan pertunjukan tampak nyata.
Pada akhirnya, Mirah, Kamil, sutradara, dan kru berhasil membawa penonton menuju
tujuan pementasan.
Yati:
Aduhhh…Dhe, selak ngompol ning kathok iki!
Set panggung realis
sungguh memukau penonton pada tampilan keenam ini. Set WC umum dari seng bekas
sangat sederhana, namun sangat kuat dalam memberikan ‘tanda’ (index) sehingga
penonton dengan cepat memahami plot cerita ini (Layung Sore). Penata suara cukup kreatif memasukkan rekaman suara
kereta api yang melintas sehingga turut membangun nuansa cerita. Kemampuan penjiwaan semua tokoh sangat
merata. Yati yang memiliki bakat alami memiliki control bermain yang baik.
Kekuatan ekspresi Sulastri dan kelihaian berimprovisasi Dhe Noto turut menjaga
perhatian penonton. Bu Sutras, Bu Sugani juga memiliki kekuatan ekspresi yang
dapat melupakan penonton akan suara kereta api. Pagi hari, dua kali kereta
lewat. Namun sampai akhir cerita kereta tidak lewat lagi. Kejutan-kejutan logis
ditampilkan dengan baik, dan konflik sangat jelas terlihat. Lampu sorot pada Bu
Sugani menambah kesan dramatis pada akhir cerita.
Simbok:
Modaar…!! Yen carane ngono, jamal bisa mati Rin…!
Pada tampilan terakhir
ini (Lintang Nyemplung ing Blumbang),
saya beranggapan bahwa kekuatan ekspresi tokoh Rini cukup lemah, pun Bapak
Kepala. Tokoh Rini sering berdialog tanpa kata (lupa) dan sering menyertakan
interferensi bahasa Indonesia. Simbok dan Jamal-lah yang dapat menghidupkan
cerita. Gerak, mimik, kostum, tata rias, dan ekspresi Simbok sangat memukau.
IV
Festival telah usai,
namun alur masih berjalan. Semua tokoh harus terus membaca tanda-tanda karena
semua tanda memunyai arti: pembinaan.
Salatiga, 23 Desember
2012
Kahar DP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar