CATATAN JURI ATAS PENAMPILAN PESERTA
FESTIVAL DRAMA BERBAHASA JAWA
se-JATENG
JURI I
(Sosiawan Leak)
1. SMA 2 UNGARAN, Lakon “RUJIT”.
Musik kelompok ini lumayan padu, kuat dan para pemusiknya
menguasai teknis bermusik. Komposisi musik (iringan) yang dipresentasikan
muncul dengan takaran yang pas untuk memperkuat berbagai adegan yang digelar.
Baik takaran menyoal tematik (lirik) maupun takaran menyoal pilihan musikalitas
yang mewakili suasana adegan. Ketepatan muncul dan menghilangnya (timing) musik
sesuai dengan kebutuhan. Sehingga meskipun kuat, musik tidak sampai
menenggelamkan pertunjukan.
Namun, penampilan sebagian besar pemain kurang kuat. Hal ini
utamanya lantaran teknik vokal dan ekspresi yang lemah. Kecuali untuk pemeran
tokoh Gunarto. Pemeran tokoh Mimin sebenarnya mempunyai kekuatan ekspresi dan
akting yang natural, namun kurang nampak sejak pertama kali ia bermain di
panggung. Kekuatan ekspresinya baru nampak setelah konflik antar tokoh menguat
pada adegan pertengahan (bapak pulang). Meski begitu, vokalnya cederung tetap
lemah dan tak tertangkap.
Tokoh bapak meski dengan ekspresi, akting dan vokal yang
cukup sampai, namun takaran bermainnya terlalu kuat, sehingga terkesan bermain
sendiri. Terkesan selalu mencoba menggeret fokus ke dalam dirinya.
Penyutradaraan kelompok ini lumayan berhasil menutup
kelemahan permaian para pemainnya, terutama komposisi blocking, fokus
pengadeganan dan pembentukan suasana lewat iringan musik dan lighting. Hingga
muncul beberapa kali situasi dramatis, utamanya pada adegan saat bapak pulang
dan setelahnya.
Penataan artistik, utamanya menyoal orientasi ruang dalam
penataan sett & property di atas panggung masih harus disempurnakan logika
ruangnya. Garis imajiner yang membentuk ruangan dalam rumah kurang terbangun
lantaran pintu, meja kursi tamu dan meja makan yang tidak padu serta tidak
konsisten orientasi arahnya. Juga pada pemilihan jenis meja dan kursi yang
tidak saling relevan serta kurang detil menggambarkan latar belakang ekonomi
sosial keluarga itu. Inti permasalahan artistik kelompok ini adalah pada
penyusunan dan pemilihan materinya kurang detil. Itu juga tergambar dalam
penataan kostume (kecuali kostume satpam). Pilihan pola dan warna kostume antar
tokoh yang kurang menggambarkan korelasi antar tokoh yang berada dalam satu
lingkup yang sama dalam strata sosial ekonomi yang sama (kecuali tokoh bapak).
2. SMK 2 SEMARANG, Lakon “Lintah Darat”.
Permainan pemeran Markatun (tukang pijat) terasa natural dan
wajar. Karakternya muncul dengan teknik vokal, ekspresi dan akting yang sampai.
Meski pada awal kemunculannya ada kesan artifisial, namun intensitas permainan
yang dilakukannya telah membangun karakter yang khas yang menginspirasi
bangunan karakter pemain lainnya. Tokoh-tokoh lain, meskipun muncul karakternya
namun masih berkesan teknis dan artifisial. Meski begitu mereka mampu muncul
sebagai tokoh yang menarik dan punya kekuatan spesifik (misal tokoh Parkiyem,
Sumi’an). Menggembirakannya, rata-rata pemain kelompok ini menguasai teknik
bermain yang standart (utamanya menyoal teknil vokal mereka). Hanya saja,
intensitas pemeranan kadang terpenggal saat mereka sedang tidak berdialog atau
saat sedang tidak menjadi fokus adegan
Secara permaianan, kelompok ini bermain kompak dan utuh.
Jalinan cerita mengalir dengan lancar. Improvisasi yang (kalau terpaksa) harus
dilakukan pun mengarah pada kelancaran alur pertunjukan.
Hanya sayangnya hampir semua nada dan intonasi dialog para
tokoh terjebak pada nada dan intonasi yang tinggi. Sehingga terkesan kurang
dinamis; tidak mengalami kenaikan atau penurunan. Dinamika pertunjukan (jika
ditilik dari sisi itu) menjadi kurang, hingga berpotensi terjebak pada nada
monoton.
Penyutradaraan berfungsi efektif, utamanya pada wilayah
blocking dan fokusing pengadeganan. Juga pada wilayah penataan artistik yang
membentuk ruang-ruang tertentu yang bermanfaat membangun fokus-fokus adegan
tertentu dalam keseluruhan alur pertunjukan. Nyaris, seluruhareal
penggung termanfaatkan.
Detil sett, property & kostume terjaga. Karakter dan
latar belakang tokoh berikut korelasinya dalam peta permaianan antar tokoh,
juga latar belakang ekonomi & sosialnya terwakili oleh pilihan kostume baik
secara pola, warna dan fungsinya (kecuali kostume tukang pijat yang
berkemungkinan dapat lebih didetilkan)
3. SMA PGRI 1 KENDAL, Lakon “KANTEM”.
Meskipun soal naskah pertunjukan tidak masuk dalam penilaian
juri dalam Festival Drama Berbahasa Jawa semacam ini, namun kematangan dan
kemapanan suatu naskah turut menentukan keberhasilan kelompok saat tampil di
atas pentas.
Pada kelompok yang memainkan naskah berdasarkan improvisasi
para pemain ini, terasa benar bahwa ketidakmapanan naskah dapat mejelma masalah
saat dieksekusi di panggung pertunjukan. Naskah yang cenderung kurang jelas
alur dramatik dan logika konfliknya, terasa sekedar memperkaya adegan dengan
berbagai permasalahan tanpa dilakukan penyaringan. Sehingga fokus cerita
cenderung mengambang, tidak mengerucut apalagi mendetil penggarapannya.
Keinginan untuk melakukan kritik terhadap birokrasi
pemerintahan (dengan munculnya tokoh-tokoh perangkat desa berikut struktur
kepegawaian di suatu kelurahan) dicampur dengan begitu saja (tanpa argumentasi
yang jelas) dengan tema asmara antar masyarakat dari kasta yang berbeda
(diwakili oleh tokoh putri, ibu ratu dan pemuda desa).
Jaman kepengurusan KTP yang menjelma kasus suap dan
manipulasi ditabrakkan dengan jaman tuan putri yang kemana-mana dikawal oleh
dayang berpayung. Ditumbukkan lagi dengan jumpalitannya adegan nasionalisme
dalam wujud penghormatan bendera merah putih oleh serombongan bocah ideot yang
bercita-cita menjajadi tentara. Sungguh logika cerita yang campur baur luar
biasa tanpa kerangka pembatas yang mengarah ke suatu jaman tertentu. Apakah
cerita itu terjadi di masa lampau (jaman kerajaan), masa kini (jaman korupsi
dan manipulasi di lembaga kelurahan tengah terjadi) atau jaman yang berdekatan
dengan revolusi fisik (dimana anak-anak dan para pemuda bercita-cita menjadi
pejuang dengan semangat bela negara) dalam heroisme merah putih.
Kekurangfokusan tema naskah yang seolah ingin berbicara
sebanyak mungkin berbagai hal kehidupan itu dikompliti dengan pendekatan
penyutradaraan yang tidak ketat dan cenderung menyandarkan pengolahan tema
pertunjukan kepada improvisasi dialog dan pengadeganan para pemainnya. Masih
ditambah dengan itikad masing-masing pemain yang ingin selalu fokus dan nampak
dominan di setiap kemunculan mereka (dengan menyandarkan kekuatan penampilan
dan pengadeganan yang cenderung melucu). Jadilah semua pemain berusaha muncul
dengan cara membanyol. Entah itu terkait dengan proses pembangunan pesan
(naskahnya) atau pun tidak, entah itu terkait dengan pertumbuhan karakter para
tokoh yang mereka perankan atau pun tidak. Entah itu berkompeten dengan
pengadeganan dan pembinaan konflik tiap adegan atau pun tidak.
Meski yang terjadi kemudian; hampir semua hal yang dilakukan
para pemain dan kelompok ini (di atas pentas) cenderung sah-sah saja, namun
konsekwensinya pertunjukan kelompok ini menjadi kurang padu dan sulit
mengerucut. Detil permasalahan (pengadeganan) juga senantiasa gagal terbentut.
Ditambah dengan aneka macam kostum, sett dan property yang muncul dari berbagai
dimensi, kantor kalurahan (realis), bendera dan layar putih (simbolis) serta
sett pernikahan (dekoratif).
4. SMA N 1 BOJA, Lakon “Menembus Batas”.
Permasalahan yang diangkat di panggung pertunjukan oleh
kelompok ini adalah permasalahan sehari-hari yang dekat dengan mereka.
Tokoh-tokoh yang mereka perankan pun tidak berjarak dengan karakter mereka
sehari-hari. Bahkan, kebanyakan mereka tampil memerankan diri mereka sendiri.
Namun, yang menentukan keberhasilan kelompok ini tampil komunikatif dengan alur
yang lancar dan segar adalah kerelaan mereka untuk bermain wajar, sesuai porsi
masing-masing pemain. Kekompakan untuk saling mendukung fokus cerita dan
pengadeganan dengan nuansa yang akrab, cair (namun tidak berlebihan) juga
menjadi penguat penampilan kelompok ini.
Sayangnya, kelompok ini kurang punya keberanian untuk
melakukan eksplorasi di wilayah artistik. Kekuatan artistik yang berpotensi muncul
dari setting dan property tidak mereka lakukan dengan maksimal. Di samping itu,
jeda antar adegan yang dibiarkan kosong (tidak diisi misalnya dengan iringan
musik yang memperkuat adegan sebelumnya, atau membentuk suasana untuk adean
yang akan digelar).
5. SMA PMS KENDAL, Lakon “Sunarti”.
Artistik (sett, property dan kostume) kelompok ini berfungsi
dengan efektif dan efisian, mampu mempresentasikan latar belakang ekonomi
sosial para tokohnya. Musik pun efektif membangun suasana dengan porsi yang
sesuai. Lighting juga mendukung pertunjukan dengan pilihan warna dan intensitas
pencahayaan yang diperhitungkan sesuai dengan tuntutan adegan pertunjukan.
Permainan pemeran Ibu cukup mampu membangung karakter tokoh
yang dominan sejak awal adegan hingga pertunjukan berakhir. Bahkan ia mampu
membina permaina bersama yang memungkinkan pemeran lain tergeret untuk tampil
dengan lebih intens. Hal ni nampak pada pemeran Ayah dan pemeran Sunarti.
Pemeran Ayah akhirnya lancar mempresentasikan karakternya yang keras pada
bagian tengah pertunjukan sesuai dengan tuntutan naskah. Demikian pula karakter
Sunarti kian terbangun utuh saat adegan menuntut terjadinya konflik dengan
tokoh Ibu. Kekuatan pemeranan Tokoh Ibu dan Ayah utamanya adalah pada materi
vokalnya yang sampai secara volume dan lunas secara karakter.
Kelemahan permainan terjadi pada pemeran Giman, yang secara
vokal, ekspresi serta akting lemah. Hingga ia bermain datar dan serasa sekedar
menngcapkan dialog naskah tanpa ekspresi dan ketegangan tertentu. Apa yang dilakukannya
di atas panggung pun kurang mampu mengimbangi permaian pemeran lainnya.
Interaksi dan korelasi yang dilakukannya dengan tokoh yang lain timpang.
Kelemahan lain adalah puncak adegan bunuh diri yang
dilakukan oleh Sunarti tidak terjadi dengan detil. Sehingga situasi dramatik
yang mestinya bernuansa tragis kurang tercipta dengan sempurna. Terasa sekilas
dan sekedar menetapi tuntutan naskah. Kekurangan lain kelompok ini adalah pada
sisi konsep artistiknya yang terasa kurang terencana dengan teliti.
6. SMK Diponegoro Salatiga ( Ontran – Ontran Padesan)
Pada kelompok ini,
permainan paling kuat namun sesuai dengan tuntutan karakter pada naskah
dilakukan oleh pemeran Nyonya. Meskipun begitu, sebenarnya pemeran lain juga
mampu mengimbangi permainan pemeran Nyonya dengan kekuatan vokal, ekspresi dan
akting mereka. Disamping kadang dengan daya improvisasi mereka .Hanya pemeran
Pengawal Nyonya yang secara vokal dan ekspresi kurang sampai
Penyutradaraan turut
berperan memperkuat penampilan kelompok ini lewat blocking dan pengadeganan
yang terkoordinasi inilah yang menyebabkan pesan dalam naskah dapat tercapai
dengan mengalir dari adegan ke adegan.
Sett, properti dan
kostum diperhitungkan dengan baik. Meskipun sett terkesan memenuhi seluruh area
pertunjukkan,namun masih memungkinkan permainan berjalan dengan fokus yang
tepat inilah salah satu alasan penyusunan sett ; menjadi tempat bermain dan
mendasari penciptaan suasana adegan dengan baik. Porsi musik mampu
mendukung dinamika pertunjukkan dengan
membangun suasana serta mengiringi konflik dalam sejumlah adegan.
Permainan kelompok
menjadi salah satu modal penampilan mereka lewat potensi permainan para
pemainnya.
7. MA Salafiyah Kajen ( Yen)
Konsep penyutradaraan
yang mengacu kepada realisme, kurang menguntungkan dipakai untuk mengolah
naskah pertunjukkan ini karena pada separo pertunjukkan bagian belakang tokoh –
tokoh utama (gadis plastik,gadis daun,gadis kertas) bukanlah tokoh yang
berdarah daging tokoh – tokoh itu adalah tokoh – tokoh simbolik yang mewakili gagasan
penulisnya meski begitu potensi para pemainnya sebenarnya cukup baik dalam
mempresentasikan karakter tokoh utamanya dari sisi teknik vokal.
8. SMA N 2 Semarang (Maling Kutang)
Melihat pertunjukkan
ini seolah – olah semua permasalahan sesuai dengan gampang sebab alur cerita
dan konflik tiap adegan kurang terbina dengan detail. Akibatnya banyak
argumentasi yang kurang muncul dan tidak logis, dimensi ruang dan waktu seperti
tidak bergerak karena ketiadaan perubahan suasana, ketiadaan perubahan sett dan
ketiadaan perubahan pada tata cahaya
Konflik dalam adegan
kurang terbangun karena gagasan yang tidak utuh. Dialog pertunjukkan yang
bertumpu pada improvisasi masing masing pemeran berakibat kepada konsistensi
karakter para tokoh yang lemah. Bahkan cenderung saling mencoba mengalahkan dan
mengutamakan fokus pribadi masing – masing pemeran. Inilah yang membuat
permainan kelompok kurang kompak dan kurang utuh. Artistik yang bermodalkan
pada berbagai alam benda dengan kurang mempertimbangkan saling keterkaitannya
membuat panggung serasa penuh.
9.
SMA 1 KLIRONG (Wek – wek)
Penataan setting
efektif, sehingga perubahan ruang dan suasana antara adegan terasa hanya dengan
merubah salah satu unsur terpenting (jerami dan kursi).
Meskipun potensi vokal
masing – masing pemain muncul,namun problem artikulasi dan kecepatan
mengendalikan dialog kerap menjadi kendala kejelasan ucapan. Interaksi antar
tokoh kurang kuat , karena masih ada kesan menghafal dialog. Penjiwaan juga
kurang terbangun karena masing – masing berkonsentrasi pada perannya masing
–masing perlu dipikirkan, alur dramatik naskah ini dari situasi komedi ke
tragedi. Perlu dicermati juga,perubahan ending cerita yang jika menurut naskah
Petruk paling berada dalam situasi yang menguntungkan, berubah menjadi Gareng
yang berubah menjadi situasi itu.
10.
SMAN 1 Kembang Jepara ( Panase Jagad Desaku)
Problem mendasar dari
kelompok ini adalah perlu lebih memahami konsep bermain drama. Baik itu soal
pemeranan,penyutradaraan,artistik dan menganalisa pesan naskah. Permainan para
pemeran cenderung datar dengan ekspresi , akting dan vokal yang kurang kuat.
Sehingga detail alur cerita dan perjalanan pembangunankonflik kurang tertangkap
(lebih terkesan sebagai narasi).
11.
SMAN 1 Paninggaran (Luh)
Para pemain memiliki
kemampuan yang bagus. Interaksi antar tokoh terjalin dengan baik berdasar
penjiwaan yang mereka perankan. Akting,ekspresi,moving dan (utamanya) vokal
dilakukan dengan kuat. Semua itu membangun alur dramatik. Peradegan dengan
teliti dan natural (kecuali pemeran dokter). Sayang sekali konsep
penyutradaraan berpeluang mengaburkan kesan naskah yang hendak disampaikan.
Dominasi iringan musik melewati porsinya. Focusing peradeganan saat terjadi dua
adegan dalam waktu yang bersamaan kurang sampai (tanpa fokus lampu atau tanpa
gradasi pernainan yang berbeda )
Setting dan properti
yang seolah ingin menonjolkan semua benda hingga memenuhi area pentas, kurang
memberi ruang gerak untuk permainan para pemeran. Kostum kurang bisa dilacak
kesatuaanya. Secara pola, warna,dan fungsi , jika ditilik dari dimensi waktu
atau ( jaman tertentu) dan latar belakang para tokohnya. Pada adegan kemunculan
dokter di rumah Laras yang terkesan monoton dan kurang memunculkan suasana yang
dinamis merupakan kelemahan konsep penyutradaraan. Sehinga saat itu adegan
tidak berkembang dan kurang dramatis.
12.
SMAN 1 Ambarawa ( Gumregut Nom Noman Padesan )
Kekuatan kelompok ini
bersandar pada permainan bersama, konsekuensi dari konsep pertunjukan semacam
ini memang cenderung tidak memberi kesempatan kepada pembentukan karakter tokoh
secara individual. Pengadeganan cenderung mengimpretasikan ekspresi kelompok.
Meski begitu, sebenarnya secara individual para pemain mempunyai potensi yang
cukup baik terutama pada materi vokalnya. Potensi itu terbuktikan saat masing
masing pemeran melakukan adegan membaca geguritan menembang, mendalang,
pranatacara dan lain- lain. Naskah yang minim konflik menyebabkan pertunjukan
terasa datar, kurang menarik,kurang dinamik.
Kostum cenderung
menggambarkan karakter kelompok yang meminimalisir mendukung munculnya karakter
masing masing tokoh baik lewat pola,
warna dan fungsi.
Setting
pertunjukancenderung berfungsi sebagai
dekorasi yang kurang membangun imajinasi ruang pengadeganan.Beruntung kelompok
ini pada akhirnya mampu membangun intensitas permainan dengan berbagai
improvisasi para pemainannya. Sehingga pertunjukan pada akhirnya berlangsung
dengan komunikatif dan segar. Bahkan kadang kala memunculkan bergam karakter
individu yang jelas.
13.
SMA 7 SURAKARTA (Sumiliring Angin Sak Pinggiring Kreteg)
Penataan setting mampu
membentuk kesatuan imajinasi ruang permainan, disamping cukup memenuhi konsep
tata ruang yang realis. Iringan musik dengan pilihan musikal yang sederhana
(kroncong gadon dan dangdut kampungan)memperkuat nuansa masyarakat kelas bawah.
Secara tematik kelompok musik memilih lirik yang sesuai dengan adegan
pertunjukan. Porsi dan timming iringan yang dilakukan dengan tepat mampu
menduduki fungsinya sebagai penguat suasana adegan.
Karakter masing masing
tokoh cukup berhasil dibangun oleh para pemeran, hingga para tokoh itu muncul
dengan kekhasan yang berbeda. Bermodalkan perbedaan karakter semacam itu alur
pertunjukan terjadi dengan dinamis. Konflik yang dibangun mengalir dengan
runtut.
Kelompok ini mampu
memadukan kekuatan teknis para pemain kematangan naskah dan peyutradaraan yang
proposional. Kelemahan permainan kelompok ini nampak pada pemeran Emak yang
kurang utuh penjiwaannya sebagai seseorang dalam usia itu. Demikian pula pada
pemeran Ratri yang kurang bisa mengimbangi permainan pemeran lain terutama
dalam sisi vokal. Tata kostum (kecuali kostum Emak) cukup mewakili masing masing karakter tokoh berikut
orilasinya dengan tokoh lain di dalam kelas masyarakat tertentu ( kelas bawah).
Namun perlu dipikiran soal kostum Emak yang terkesan masih nonton.
JURI
II
(Widyo
Leksono Babahe)
KOMENTAR
JURI
Umume, utawa biasane
juri ana sing seneng golek-golek kurange
utawa eleke apa sing dideleng. Mbok menawa aku kalebu golongan sing siji kuwi.
Nanging mung tak nggo nemtokake rangking. Dene sing apik-apik kanggo nemtoake
biji.
Ing catetan sing tak
tulis iki sing tak aturke sing apik-apik wae supaya para kadang guru, seniman,
pendamping umume, lan para siswa khususe saya sregep sinau babagan basa lan
budaya jawa. Salah sijine cara ngrembakaake basa lan budaya jawa, ya kuwi ngana
ake pagelaran drama.
Bombong rasane
putra-putri isih bisa nggunakake basa jawa, mbek’e ana sing isih kepleto, rung
bisa mbeda ake pocapan ta karo tha, da karo dha. Orak apa-apa, alon-alon mengko
rak ya ngerti lan bisa.
Maen drama jebule ya asik ya ?? gak sah tak critaake
putra-putri wis nglakoni dewe yen pas lomba kaya ngene iki, perkara menang tawa
kalah mengko disik. Sing baku bisa ketemu kanca-kanca saka dhaerah liya.Piye
leh, piye tah, kepriben, kepriwe, lan liya-liyane, nandaake jawa akeh ragame,
ya akeh sedulure.
Mung siji sing ngganjel
nang pikiuran ati ku, sajroning rung dina (17-18/12), mentelengi siji mbaka
siji “ penyajian peserta lomba”. Yen tak gagas-gagas para siswa dadi korbane
para sutradhara. Siswa-siswa sing maen, kepeksa nyinaoni naskah lakon sing dipilih
guru utawa sutradharane. Pancen ya ora akeh. Saka 13 peserta lomba sing kaetung
rata sakjroning tlatah Jawa Tengah, saora-orane luwih saka 3 klompok, sing milih
naskah lakon saka “ambisine” para guru
utawa sutradharane.Umpamane lakon, “ Ontran-Ontran Padesan, Yen, Panase Jagad Desaku”
.
Naskah lakon sing tak
sebut kuwi mau, ngrasa ku kaya mekso bocah ( para siswa) nglakoni nganti ngaya
apa sing dikarep ake isine naskah. Banjur sing dadi ing sajroning panggung,
paraga katon abot anggone nglakoni nanging ya ora apa-apa. Aku dewe sok ya
nglakoni ngono.Paraga dadi corong uneg-uneg ing ana sakjroning atiku sing tak
tata, kang pungkasane dadi crita, ya naskah lakon.
Kadang aku mikir kok
mesakake banget dadi paraga. Urip kok dadi kawulane sutradhara nanging kadang
ya tak gagas, yen ora dipeksa para siswa ya ora bakal ngerti lan bisa. Ya mung
siji kuwi sing ngganjel ning pikir lan atiku sakjroning mentelengi 13 kelompok
SMA/SMK sa-Jawa Tengah , sing gegayutane karo “Festival Drama Berbahasa Jawa”
ing UNNES.
JURI
III
(Sidiq
Ranu Widjaya)
SABTU, 17 DESEMBER 2011
A.
SMAN
2 UNGARAN “RUJIT”
Keunggulan:
1.
Ide dari lakon ini sangat menarik,
menyentuh ranah-ranah dramatis. Lakon ini juga berusaha menyajikan sesuatu yang
simpel namun bermakna.
2.
Kekuatan karakter tokoh-tokohnya cukup
berimbang sehingga menjadi pendukung utama dalam lakon ini.
Kekurangan:
1.
Pelafalan harus dilatih.
2.
Pengadeganan perlu ditata dengan lebih
cermat sehingga tidak menimbulkan alur yang bercabang dan masing-masing adegan
tidak terkesan tercerai berai.
3.
Konsep yang digunakan adalah drama satu
babak, namun perlu digarap dengan tepat lagi untuk masalah kemunculan aktor,
daya kejut aktor masih lemah sehingga tidak mampu menaikkan grafik.
4.
Pemerataan konflik antaradegan perlu
diramu lebih jitu sehingga grafik konflik tidak merosot terlalu tajam.
5.
Penggemblengan vokal tokoh dikuatkan
lagi agar mampu berimbang.
6.
Suara musik pengiring terlalu keras dan
dominan.
B.
SMKN
2 SEMARANG “LINTAH DARAT”
Keunggulan
1. Ide
dasar cerita digarap dengan tajam dan menarik.
2. Pemilihan
aktor sangat tepat dan karakter masing-masing tokoh sangat kuat dan muncul.
3. Dinamisasi
konflik diperhitungkan dengan cermat dan digarap dengan baik.
Kekurangan:
1. Pelafalan
harus dilatih.
2. Pelontaran
konflik pada adegan penagihan hutang terasa agak njeglek.
C.
SMA
PGRI 1 KENDAL “KANTEM”
Keunggulan:
1. Kekuatan
lakon ini adalah improvisasi pemain yang tiba-tiba ‘sembrana pari kena’ dan lucu sehingga lakon ini selalu dinamis.
2. Musik
pengiring yang sangat khas menjadi nilai tambah.
Kekurangan:
1. Pelafalan
perlu dilatih kembali.
2. Peran
sutradara harus dimaksimalkan untuk memabatasi alur atau cerita yang akan
disajikan, pengadeganan, dan bloking.
3. Karakter
masing-masing tokoh dapat dimaksimalkan sehingga tidak sia-sia.
4. Konflik
perlu digarap agar grafiknya tidak naik turun dengan drastis.
D.
SMAN
1 BOJA “NEMBUS WATES”
Kekuatan:
1. Kekuatan
lakon ini adalah kerealitasan cerita. Artinya tokoh memerankan sesuatu yang
dekat dengan keseharian mereka.
2. Lakon
ini dipentaskan dengan natural sehingga lakon ini sangat mudah dinikmati dan
ide tersampaikan kepada pemirsa.
Kekurangan:
1. Pelafalan
harus dilatih.
2. Dialog
dapat digarap lebih baik dan dinamika yang lebih dinamis.
3. Lighting
pada beberapa adegan agak mengganggu, sehingga dapat disiasati lebih cermat.
E.
SMA
PMS KENDAL “SUNARTI”
Kekuatan:
1. Kelompok
ini menyuguhkan fenomena yang terjadi di masyarakat.
2. Kekauatan
karakter masing-masing tokoh sangat kuat sehingga mampu membawakan dengan apik.
3. Dinamisasi
konflik cukup detail.
Kekurangan:
1. Pelavalan
perlu dilatih.
2. Dialog
mampu digarap lebih tajam dan dalam.
3. Dramatisasi
dapat dibuat yang lebih kuat, sehingga karakter pemain yang kuat dapat
maksimal.
4. Eksekusi
konflik akhir dapat digarap lebih detail dan mengena pada pemirsa.
F.
SMK
DIPONEGORO SALATIGA “ONTRAN-ONTRAN PADESAN”
Kekuatan:
1. Monolog
di awal sangat kuat sehingga mampu menimbulkan efek untuk adegan-adegan
berikutnya.
2. Lakon
ini sanagat memuat pitutur, namun disajikan tanpa terasa ‘menggurui’.
3. Ide
cerita sangat bagus dan esensial.
Kekuarangan:
1. Pelafalan
perlu dilatih.
2. Perlu
optimalisasi vokal dan karakter tokoh.
3. Ada
beberapa konflik tanpa eksekusi akhir.
G.
MA
SALAFIYAH KAJEN “YEN”
Kekuatan:
1. Karakter
antar tokoh cukup kuat.
2. Kelompok
ini menyajikan drama yang penuh dengan simbol.
3. Kekuatan
dialog antar tokoh menunjang sampainya id eke pemirsa.
Kekurangan:
1. Penonton
dipaksa atau perlu waktu untuk memahami konsep yang pintaskan dan ingin
disampaikan.
MINGGU, 18 DESEMBER 2011
A.
SMAN
2 SEMARANG “MALING KOTANG”
Keunggulan:
1. Pemilihan
cerita yang tepat dan transformasi cerita yang unik.
2. Dialog
yang sanatai dan ringan sehingga dapat menyampaikan ide dengan cepat dan tepat.
3. Ide
ceritanya dekat dengan dunia remaja.
Kekurangan:
1. Sisi
keaktoran perlu digarap lebih kuat sehingga mampu menjadi penguatan cerita yang
sudah unik ini.
2. Pelafalan
perlu dilatihkan.
3. Umpan-umpan
konflik di tiap adegan perlu dipertajam.
B.
SMAN
1 KLIRONG “WEK-WEK”
Keunggulan:
1. Kekuatan
kelompok ini terletak pada penjiwaan masing-masing tokoh.
2. Dialog
simpel namun mampu dibawakan dengan apik dan terasa mantap.
3. Permainan
logika-logika tingkat tinggi dan keabstrakan ide cerita yang memancing
penasaran bagi penonton.
Kekurangan:
1. Eksekusi
ending agak menurunkan grafik.
2. Grafik
adegan pengadilan di kelurahan perlu digarap yang lebih kuat sehingga
ketegangan penonton lebih tinggi.
C.
SMAN
1 KEMBANG “PANASE JAGAD DESAKU”
Keunggulan:
Mencoba mengangkat isu atau konflik di daerah.
Kekurangan:
1. Musik
pengiring kurang sesuai dengan adegan dan sering dominan sehingga menutupi
adegan.
2. Kekuatan
vokal tokoh perlu dilatih dan dikuatkan.
3. Dialog
dapat digarap lebih enjoy namun berbobot.
4. Moving
dan blocking perlu dibesut dengan detail.
5. Dinamisasi
konflik perlu disentuh.
D.
SMAN
1 PANINGGARAN “LUH”
Keunggulan:
1. Kenaturalan
pementasan menjadi nilai tambah dari kelompok ini.
2. Tokoh
Ragil sukses menjadi ikon kelompok ini.
Kekurangan:
1. Perlu
memperhatikan tata teknis pentas.
2. Karakter
Laras dapat dikuatkan sedikit lagi untuk sempurna.
3. Dramatisasi
lakon ini dapat diolah lebih focus sehingga lebih ‘nges’.
4. Kehadiran
narator belum terasa dan kurang maksiamal.
5. Eksekusi
ending sudah bagus grafiknya, namun menurun karena tertutup narator.
E.
SMAN
1 AMBARAWA
Keunggulan:
1. Kekuatan
adegan ini pada komunikasi antartokoh.
2. Konsep
dasar yang ingin disampaikan cukup baik.
3. Nilai
lebih kelompokini adalah gerak dan lagu.
Kekurangan:
1. Perlu
ada penonjolan fokus ide yang ingin disampaikan.
2. Permainan
dialog kurang mengalir karena timing kadang tidak tepat.
F.
SMAN
7 SURAKARTA
Keunggulan:
1. Starting
poin di awal pertunjukan sangat mengejutkan.
2. Karakter
tokoh merata sehingga tiap adegan benar-benar hidup.
3. Kekuatan
dialog terletakpada ketepatan timing percakapan.
4. Garap
adegan sangat detail, komunikasi antar tokoh sangat tepat, dan property
dimanfaatkan maksimal.
Kekurangan:
Eksplorasi adegan prostitusi bisa lebih digarap
dengan luwes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar