-->

HIMA JAWA SLIDE

  • PROFIL HIMPUNAN MAHASISWA JAWA

    Lembaga kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Semarang, 7 Maret 2008.

  • KEGIATAN-KEGIATAN

    Hima BSJ bersifat demokratis, kekeluargaan, aktif, kreatif, inovatif, relijius, edukatif, dan rekonstruktif.

  • GALERY FOTO

    Galeri foto-foto kegiatan Hima Jawa

  • title of entry 4

    Mewujudkan terciptanya Mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa sebagai mahasiswa relijius, intelektual, humanis dan berbudaya.

  • title of entry 5

    Hima BSJ bertempat di Gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Rabu, 21 Desember 2011

CATATAN JURI FESTIVAL DRAMA BERBAHASA JAWA se-JATENG 2011


CATATAN JURI ATAS PENAMPILAN PESERTA
FESTIVAL DRAMA BERBAHASA JAWA se-JATENG


JURI I
(Sosiawan Leak)

1. SMA 2 UNGARAN, Lakon “RUJIT”.
Musik kelompok ini lumayan padu, kuat dan para pemusiknya menguasai teknis bermusik. Komposisi musik (iringan) yang dipresentasikan muncul dengan takaran yang pas untuk memperkuat berbagai adegan yang digelar. Baik takaran menyoal tematik (lirik) maupun takaran menyoal pilihan musikalitas yang mewakili suasana adegan. Ketepatan muncul dan menghilangnya (timing) musik sesuai dengan kebutuhan. Sehingga meskipun kuat, musik tidak sampai menenggelamkan pertunjukan.
Namun, penampilan sebagian besar pemain kurang kuat. Hal ini utamanya lantaran teknik vokal dan ekspresi yang lemah. Kecuali untuk pemeran tokoh Gunarto. Pemeran tokoh Mimin sebenarnya mempunyai kekuatan ekspresi dan akting yang natural, namun kurang nampak sejak pertama kali ia bermain di panggung. Kekuatan ekspresinya baru nampak setelah konflik antar tokoh menguat pada adegan pertengahan (bapak pulang). Meski begitu, vokalnya cederung tetap lemah dan tak tertangkap.
Tokoh bapak meski dengan ekspresi, akting dan vokal yang cukup sampai, namun takaran bermainnya terlalu kuat, sehingga terkesan bermain sendiri. Terkesan selalu mencoba menggeret fokus ke dalam dirinya.
Penyutradaraan kelompok ini lumayan berhasil menutup kelemahan permaian para pemainnya, terutama komposisi blocking, fokus pengadeganan dan pembentukan suasana lewat iringan musik dan lighting. Hingga muncul beberapa kali situasi dramatis, utamanya pada adegan saat bapak pulang dan setelahnya.
Penataan artistik, utamanya menyoal orientasi ruang dalam penataan sett & property di atas panggung masih harus disempurnakan logika ruangnya. Garis imajiner yang membentuk ruangan dalam rumah kurang terbangun lantaran pintu, meja kursi tamu dan meja makan yang tidak padu serta tidak konsisten orientasi arahnya. Juga pada pemilihan jenis meja dan kursi yang tidak saling relevan serta kurang detil menggambarkan latar belakang ekonomi sosial keluarga itu. Inti permasalahan artistik kelompok ini adalah pada penyusunan dan pemilihan materinya kurang detil. Itu juga tergambar dalam penataan kostume (kecuali kostume satpam). Pilihan pola dan warna kostume antar tokoh yang kurang menggambarkan korelasi antar tokoh yang berada dalam satu lingkup yang sama dalam strata sosial ekonomi yang sama (kecuali tokoh bapak).

2. SMK 2 SEMARANG, Lakon “Lintah Darat”.
Permainan pemeran Markatun (tukang pijat) terasa natural dan wajar. Karakternya muncul dengan teknik vokal, ekspresi dan akting yang sampai. Meski pada awal kemunculannya ada kesan artifisial, namun intensitas permainan yang dilakukannya telah membangun karakter yang khas yang menginspirasi bangunan karakter pemain lainnya. Tokoh-tokoh lain, meskipun muncul karakternya namun masih berkesan teknis dan artifisial. Meski begitu mereka mampu muncul sebagai tokoh yang menarik dan punya kekuatan spesifik (misal tokoh Parkiyem, Sumi’an). Menggembirakannya, rata-rata pemain kelompok ini menguasai teknik bermain yang standart (utamanya menyoal teknil vokal mereka). Hanya saja, intensitas pemeranan kadang terpenggal saat mereka sedang tidak berdialog atau saat sedang tidak menjadi fokus adegan
Secara permaianan, kelompok ini bermain kompak dan utuh. Jalinan cerita mengalir dengan lancar. Improvisasi yang (kalau terpaksa) harus dilakukan pun mengarah pada kelancaran alur pertunjukan.
Hanya sayangnya hampir semua nada dan intonasi dialog para tokoh terjebak pada nada dan intonasi yang tinggi. Sehingga terkesan kurang dinamis; tidak mengalami kenaikan atau penurunan. Dinamika pertunjukan (jika ditilik dari sisi itu) menjadi kurang, hingga berpotensi terjebak pada nada monoton.
Penyutradaraan berfungsi efektif, utamanya pada wilayah blocking dan fokusing pengadeganan. Juga pada wilayah penataan artistik yang membentuk ruang-ruang tertentu yang bermanfaat membangun fokus-fokus adegan tertentu dalam keseluruhan alur pertunjukan. Nyaris, seluruhareal  penggung termanfaatkan.
Detil sett, property & kostume terjaga. Karakter dan latar belakang tokoh berikut korelasinya dalam peta permaianan antar tokoh, juga latar belakang ekonomi & sosialnya terwakili oleh pilihan kostume baik secara pola, warna dan fungsinya (kecuali kostume tukang pijat yang berkemungkinan dapat lebih didetilkan)

3. SMA PGRI 1 KENDAL, Lakon “KANTEM”.
Meskipun soal naskah pertunjukan tidak masuk dalam penilaian juri dalam Festival Drama Berbahasa Jawa semacam ini, namun kematangan dan kemapanan suatu naskah turut menentukan keberhasilan kelompok saat tampil di atas pentas.
Pada kelompok yang memainkan naskah berdasarkan improvisasi para pemain ini, terasa benar bahwa ketidakmapanan naskah dapat mejelma masalah saat dieksekusi di panggung pertunjukan. Naskah yang cenderung kurang jelas alur dramatik dan logika konfliknya, terasa sekedar memperkaya adegan dengan berbagai permasalahan tanpa dilakukan penyaringan. Sehingga fokus cerita cenderung mengambang, tidak mengerucut apalagi mendetil penggarapannya.
Keinginan untuk melakukan kritik terhadap birokrasi pemerintahan (dengan munculnya tokoh-tokoh perangkat desa berikut struktur kepegawaian di suatu kelurahan) dicampur dengan begitu saja (tanpa argumentasi yang jelas) dengan tema asmara antar masyarakat dari kasta yang berbeda (diwakili oleh tokoh putri, ibu ratu dan pemuda desa).
Jaman kepengurusan KTP yang menjelma kasus suap dan manipulasi ditabrakkan dengan jaman tuan putri yang kemana-mana dikawal oleh dayang berpayung. Ditumbukkan lagi dengan jumpalitannya adegan nasionalisme dalam wujud penghormatan bendera merah putih oleh serombongan bocah ideot yang bercita-cita menjajadi tentara. Sungguh logika cerita yang campur baur luar biasa tanpa kerangka pembatas yang mengarah ke suatu jaman tertentu. Apakah cerita itu terjadi di masa lampau (jaman kerajaan), masa kini (jaman korupsi dan manipulasi di lembaga kelurahan tengah terjadi) atau jaman yang berdekatan dengan revolusi fisik (dimana anak-anak dan para pemuda bercita-cita menjadi pejuang dengan semangat bela negara) dalam heroisme merah putih.
Kekurangfokusan tema naskah yang seolah ingin berbicara sebanyak mungkin berbagai hal kehidupan itu dikompliti dengan pendekatan penyutradaraan yang tidak ketat dan cenderung menyandarkan pengolahan tema pertunjukan kepada improvisasi dialog dan pengadeganan para pemainnya. Masih ditambah dengan itikad masing-masing pemain yang ingin selalu fokus dan nampak dominan di setiap kemunculan mereka (dengan menyandarkan kekuatan penampilan dan pengadeganan yang cenderung melucu). Jadilah semua pemain berusaha muncul dengan cara membanyol. Entah itu terkait dengan proses pembangunan pesan (naskahnya) atau pun tidak, entah itu terkait dengan pertumbuhan karakter para tokoh yang mereka perankan atau pun tidak. Entah itu berkompeten dengan pengadeganan dan pembinaan konflik tiap adegan atau pun tidak.
Meski yang terjadi kemudian; hampir semua hal yang dilakukan para pemain dan kelompok ini (di atas pentas) cenderung sah-sah saja, namun konsekwensinya pertunjukan kelompok ini menjadi kurang padu dan sulit mengerucut. Detil permasalahan (pengadeganan) juga senantiasa gagal terbentut. Ditambah dengan aneka macam kostum, sett dan property yang muncul dari berbagai dimensi, kantor kalurahan (realis), bendera dan layar putih (simbolis) serta sett pernikahan (dekoratif).

4. SMA N 1 BOJA, Lakon “Menembus Batas”.
Permasalahan yang diangkat di panggung pertunjukan oleh kelompok ini adalah permasalahan sehari-hari yang dekat dengan mereka. Tokoh-tokoh yang mereka perankan pun tidak berjarak dengan karakter mereka sehari-hari. Bahkan, kebanyakan mereka tampil memerankan diri mereka sendiri. Namun, yang menentukan keberhasilan kelompok ini tampil komunikatif dengan alur yang lancar dan segar adalah kerelaan mereka untuk bermain wajar, sesuai porsi masing-masing pemain. Kekompakan untuk saling mendukung fokus cerita dan pengadeganan dengan nuansa yang akrab, cair (namun tidak berlebihan) juga menjadi penguat penampilan kelompok ini.
Sayangnya, kelompok ini kurang punya keberanian untuk melakukan eksplorasi di wilayah artistik. Kekuatan artistik yang berpotensi muncul dari setting dan property tidak mereka lakukan dengan maksimal. Di samping itu, jeda antar adegan yang dibiarkan kosong (tidak diisi misalnya dengan iringan musik yang memperkuat adegan sebelumnya, atau membentuk suasana untuk adean yang akan digelar).
 5. SMA PMS KENDAL, Lakon “Sunarti”.
Artistik (sett, property dan kostume) kelompok ini berfungsi dengan efektif dan efisian, mampu mempresentasikan latar belakang ekonomi sosial para tokohnya. Musik pun efektif membangun suasana dengan porsi yang sesuai. Lighting juga mendukung pertunjukan dengan pilihan warna dan intensitas pencahayaan yang diperhitungkan sesuai dengan tuntutan adegan pertunjukan.
Permainan pemeran Ibu cukup mampu membangung karakter tokoh yang dominan sejak awal adegan hingga pertunjukan berakhir. Bahkan ia mampu membina permaina bersama yang memungkinkan pemeran lain tergeret untuk tampil dengan lebih intens. Hal ni nampak pada pemeran Ayah dan pemeran Sunarti. Pemeran Ayah akhirnya lancar mempresentasikan karakternya yang keras pada bagian tengah pertunjukan sesuai dengan tuntutan naskah. Demikian pula karakter Sunarti kian terbangun utuh saat adegan menuntut terjadinya konflik dengan tokoh Ibu. Kekuatan pemeranan Tokoh Ibu dan Ayah utamanya adalah pada materi vokalnya yang sampai secara volume dan lunas secara karakter.
Kelemahan permainan terjadi pada pemeran Giman, yang secara vokal, ekspresi serta akting lemah. Hingga ia bermain datar dan serasa sekedar menngcapkan dialog naskah tanpa ekspresi dan ketegangan tertentu. Apa yang dilakukannya di atas panggung pun kurang mampu mengimbangi permaian pemeran lainnya. Interaksi dan korelasi yang dilakukannya dengan tokoh yang lain timpang.
Kelemahan lain adalah puncak adegan bunuh diri yang dilakukan oleh Sunarti tidak terjadi dengan detil. Sehingga situasi dramatik yang mestinya bernuansa tragis kurang tercipta dengan sempurna. Terasa sekilas dan sekedar menetapi tuntutan naskah. Kekurangan lain kelompok ini adalah pada sisi konsep artistiknya yang terasa kurang terencana dengan teliti.

6. SMK Diponegoro Salatiga ( Ontran – Ontran Padesan)
Pada kelompok ini, permainan paling kuat namun sesuai dengan tuntutan karakter pada naskah dilakukan oleh pemeran Nyonya. Meskipun begitu, sebenarnya pemeran lain juga mampu mengimbangi permainan pemeran Nyonya dengan kekuatan vokal, ekspresi dan akting mereka. Disamping kadang dengan daya improvisasi mereka .Hanya pemeran Pengawal Nyonya yang secara vokal dan ekspresi kurang sampai
Penyutradaraan turut berperan memperkuat penampilan kelompok ini lewat blocking dan pengadeganan yang terkoordinasi inilah yang menyebabkan pesan dalam naskah dapat tercapai dengan mengalir dari adegan ke adegan.
Sett, properti dan kostum diperhitungkan dengan baik. Meskipun sett terkesan memenuhi seluruh area pertunjukkan,namun masih memungkinkan permainan berjalan dengan fokus yang tepat inilah salah satu alasan penyusunan sett ; menjadi tempat bermain dan mendasari penciptaan suasana adegan dengan baik. Porsi musik mampu mendukung  dinamika pertunjukkan dengan membangun suasana serta mengiringi konflik dalam sejumlah adegan.
Permainan kelompok menjadi salah satu modal penampilan mereka lewat potensi permainan para pemainnya.

7. MA Salafiyah Kajen ( Yen)
Konsep penyutradaraan yang mengacu kepada realisme, kurang menguntungkan dipakai untuk mengolah naskah pertunjukkan ini karena pada separo pertunjukkan bagian belakang tokoh – tokoh utama (gadis plastik,gadis daun,gadis kertas) bukanlah tokoh yang berdarah daging tokoh – tokoh itu adalah tokoh – tokoh simbolik yang mewakili gagasan penulisnya meski begitu potensi para pemainnya sebenarnya cukup baik dalam mempresentasikan karakter tokoh utamanya dari sisi teknik vokal.

8. SMA N 2 Semarang (Maling Kutang)
Melihat pertunjukkan ini seolah – olah semua permasalahan sesuai dengan gampang sebab alur cerita dan konflik tiap adegan kurang terbina dengan detail. Akibatnya banyak argumentasi yang kurang muncul dan tidak logis, dimensi ruang dan waktu seperti tidak bergerak karena ketiadaan perubahan suasana, ketiadaan perubahan sett dan ketiadaan perubahan pada tata cahaya
Konflik dalam adegan kurang terbangun karena gagasan yang tidak utuh. Dialog pertunjukkan yang bertumpu pada improvisasi masing masing pemeran berakibat kepada konsistensi karakter para tokoh yang lemah. Bahkan cenderung saling mencoba mengalahkan dan mengutamakan fokus pribadi masing – masing pemeran. Inilah yang membuat permainan kelompok kurang kompak dan kurang utuh. Artistik yang bermodalkan pada berbagai alam benda dengan kurang mempertimbangkan saling keterkaitannya membuat panggung serasa penuh.


9. SMA 1 KLIRONG (Wek – wek)
Penataan setting efektif, sehingga perubahan ruang dan suasana antara adegan terasa hanya dengan merubah salah satu unsur terpenting (jerami dan kursi).
Meskipun potensi vokal masing – masing pemain muncul,namun problem artikulasi dan kecepatan mengendalikan dialog kerap menjadi kendala kejelasan ucapan. Interaksi antar tokoh kurang kuat , karena masih ada kesan menghafal dialog. Penjiwaan juga kurang terbangun karena masing – masing berkonsentrasi pada perannya masing –masing perlu dipikirkan, alur dramatik naskah ini dari situasi komedi ke tragedi. Perlu dicermati juga,perubahan ending cerita yang jika menurut naskah Petruk paling berada dalam situasi yang menguntungkan, berubah menjadi Gareng yang berubah menjadi situasi itu.

10. SMAN 1 Kembang Jepara ( Panase Jagad Desaku)
Problem mendasar dari kelompok ini adalah perlu lebih memahami konsep bermain drama. Baik itu soal pemeranan,penyutradaraan,artistik dan menganalisa pesan naskah. Permainan para pemeran cenderung datar dengan ekspresi , akting dan vokal yang kurang kuat. Sehingga detail alur cerita dan perjalanan pembangunankonflik kurang tertangkap (lebih terkesan sebagai narasi).

11. SMAN 1 Paninggaran (Luh)
Para pemain memiliki kemampuan yang bagus. Interaksi antar tokoh terjalin dengan baik berdasar penjiwaan yang mereka perankan. Akting,ekspresi,moving dan (utamanya) vokal dilakukan dengan kuat. Semua itu membangun alur dramatik. Peradegan dengan teliti dan natural (kecuali pemeran dokter). Sayang sekali konsep penyutradaraan berpeluang mengaburkan kesan naskah yang hendak disampaikan. Dominasi iringan musik melewati porsinya. Focusing peradeganan saat terjadi dua adegan dalam waktu yang bersamaan kurang sampai (tanpa fokus lampu atau tanpa gradasi pernainan yang berbeda )
Setting dan properti yang seolah ingin menonjolkan semua benda hingga memenuhi area pentas, kurang memberi ruang gerak untuk permainan para pemeran. Kostum kurang bisa dilacak kesatuaanya. Secara pola, warna,dan fungsi , jika ditilik dari dimensi waktu atau ( jaman tertentu) dan latar belakang para tokohnya. Pada adegan kemunculan dokter di rumah Laras yang terkesan monoton dan kurang memunculkan suasana yang dinamis merupakan kelemahan konsep penyutradaraan. Sehinga saat itu adegan tidak berkembang dan kurang dramatis.

12. SMAN 1 Ambarawa ( Gumregut Nom Noman Padesan )
Kekuatan kelompok ini bersandar pada permainan bersama, konsekuensi dari konsep pertunjukan semacam ini memang cenderung tidak memberi kesempatan kepada pembentukan karakter tokoh secara individual. Pengadeganan cenderung mengimpretasikan ekspresi kelompok. Meski begitu, sebenarnya secara individual para pemain mempunyai potensi yang cukup baik terutama pada materi vokalnya. Potensi itu terbuktikan saat masing masing pemeran melakukan adegan membaca geguritan menembang, mendalang, pranatacara dan lain- lain. Naskah yang minim konflik menyebabkan pertunjukan terasa datar, kurang menarik,kurang dinamik.
Kostum cenderung menggambarkan karakter kelompok yang meminimalisir mendukung munculnya karakter masing masing tokoh baik lewat  pola, warna dan fungsi.
Setting pertunjukancenderung  berfungsi sebagai dekorasi yang kurang membangun imajinasi ruang pengadeganan.Beruntung kelompok ini pada akhirnya mampu membangun intensitas permainan dengan berbagai improvisasi para pemainannya. Sehingga pertunjukan pada akhirnya berlangsung dengan komunikatif dan segar. Bahkan kadang kala memunculkan bergam karakter individu yang jelas.


13. SMA 7 SURAKARTA (Sumiliring Angin Sak Pinggiring Kreteg)
Penataan setting mampu membentuk kesatuan imajinasi ruang permainan, disamping cukup memenuhi konsep tata ruang yang realis. Iringan musik dengan pilihan musikal yang sederhana (kroncong gadon dan dangdut kampungan)memperkuat nuansa masyarakat kelas bawah. Secara tematik kelompok musik memilih lirik yang sesuai dengan adegan pertunjukan. Porsi dan timming iringan yang dilakukan dengan tepat mampu menduduki fungsinya sebagai penguat suasana adegan.
Karakter masing masing tokoh cukup berhasil dibangun oleh para pemeran, hingga para tokoh itu muncul dengan kekhasan yang berbeda. Bermodalkan perbedaan karakter semacam itu alur pertunjukan terjadi dengan dinamis. Konflik yang dibangun mengalir dengan runtut.
Kelompok ini mampu memadukan kekuatan teknis para pemain kematangan naskah dan peyutradaraan yang proposional. Kelemahan permainan kelompok ini nampak pada pemeran Emak yang kurang utuh penjiwaannya sebagai seseorang dalam usia itu. Demikian pula pada pemeran Ratri yang kurang bisa mengimbangi permainan pemeran lain terutama dalam sisi vokal. Tata kostum (kecuali kostum Emak) cukup mewakili  masing masing karakter tokoh berikut orilasinya dengan tokoh lain di dalam kelas masyarakat tertentu ( kelas bawah). Namun perlu dipikiran soal kostum Emak yang terkesan masih nonton.





JURI II
(Widyo Leksono Babahe)

KOMENTAR JURI
Umume, utawa biasane juri  ana sing seneng golek-golek kurange utawa eleke apa sing dideleng. Mbok menawa aku kalebu golongan sing siji kuwi. Nanging mung tak nggo nemtokake rangking. Dene sing apik-apik kanggo nemtoake biji.
Ing catetan sing tak tulis iki sing tak aturke sing apik-apik wae supaya para kadang guru, seniman, pendamping umume, lan para siswa khususe saya sregep sinau babagan basa lan budaya jawa. Salah sijine cara ngrembakaake basa lan budaya jawa, ya kuwi ngana ake pagelaran drama.
Bombong rasane putra-putri isih bisa nggunakake basa jawa, mbek’e ana sing isih kepleto, rung bisa mbeda ake pocapan ta karo tha, da karo dha. Orak apa-apa, alon-alon mengko rak ya ngerti lan bisa.
Maen drama jebule ya asik ya ?? gak sah tak critaake putra-putri wis nglakoni dewe yen pas lomba kaya ngene iki, perkara menang tawa kalah mengko disik. Sing baku bisa ketemu kanca-kanca saka dhaerah liya.Piye leh, piye tah, kepriben, kepriwe, lan liya-liyane, nandaake jawa akeh ragame, ya akeh sedulure.
Mung siji sing ngganjel nang pikiuran ati ku, sajroning rung dina (17-18/12), mentelengi siji mbaka siji “ penyajian peserta lomba”. Yen tak gagas-gagas para siswa dadi korbane para sutradhara. Siswa-siswa sing maen, kepeksa nyinaoni naskah lakon sing dipilih guru utawa sutradharane. Pancen ya ora akeh. Saka 13 peserta lomba sing kaetung rata sakjroning tlatah Jawa Tengah,  saora-orane luwih saka 3 klompok, sing milih naskah lakon saka  “ambisine” para guru utawa sutradharane.Umpamane lakon, “ Ontran-Ontran Padesan, Yen, Panase Jagad Desaku” .
Naskah lakon sing tak sebut kuwi mau, ngrasa ku kaya mekso bocah ( para siswa) nglakoni nganti ngaya apa sing dikarep ake isine naskah. Banjur sing dadi ing sajroning panggung, paraga katon abot anggone nglakoni nanging ya ora apa-apa. Aku dewe sok ya nglakoni ngono.Paraga dadi corong uneg-uneg ing ana sakjroning atiku sing tak tata, kang pungkasane dadi crita, ya naskah lakon.
Kadang aku mikir kok mesakake banget dadi paraga. Urip kok dadi kawulane sutradhara nanging kadang ya tak gagas, yen ora dipeksa para siswa ya ora bakal ngerti lan bisa. Ya mung siji kuwi sing ngganjel ning pikir lan atiku sakjroning mentelengi 13 kelompok SMA/SMK sa-Jawa Tengah , sing gegayutane karo “Festival Drama Berbahasa Jawa” ing UNNES.


JURI III
(Sidiq Ranu Widjaya)

SABTU, 17 DESEMBER 2011
A.      SMAN 2 UNGARAN “RUJIT”
Keunggulan:
1.      Ide dari lakon ini sangat menarik, menyentuh ranah-ranah dramatis. Lakon ini juga berusaha menyajikan sesuatu yang simpel namun bermakna.
2.      Kekuatan karakter tokoh-tokohnya cukup berimbang sehingga menjadi pendukung utama dalam lakon ini.
Kekurangan:
1.      Pelafalan harus dilatih.
2.      Pengadeganan perlu ditata dengan lebih cermat sehingga tidak menimbulkan alur yang bercabang dan masing-masing adegan tidak terkesan tercerai berai.
3.      Konsep yang digunakan adalah drama satu babak, namun perlu digarap dengan tepat lagi untuk masalah kemunculan aktor, daya kejut aktor masih lemah sehingga tidak mampu menaikkan grafik.
4.      Pemerataan konflik antaradegan perlu diramu lebih jitu sehingga grafik konflik tidak merosot terlalu tajam.
5.      Penggemblengan vokal tokoh dikuatkan lagi agar mampu berimbang.
6.      Suara musik pengiring terlalu keras dan dominan.

B.       SMKN 2 SEMARANG “LINTAH DARAT”
Keunggulan
1.      Ide dasar cerita digarap dengan tajam dan menarik.
2.      Pemilihan aktor sangat tepat dan karakter masing-masing tokoh sangat kuat dan muncul.
3.      Dinamisasi konflik diperhitungkan dengan cermat dan digarap dengan baik.
Kekurangan:
1.      Pelafalan harus dilatih.
2.      Pelontaran konflik pada adegan penagihan hutang terasa agak njeglek.

C.      SMA PGRI 1 KENDAL “KANTEM”
Keunggulan:
1.      Kekuatan lakon ini adalah improvisasi pemain yang tiba-tiba ‘sembrana pari kena’ dan lucu sehingga lakon ini selalu dinamis.
2.      Musik pengiring yang sangat khas menjadi nilai tambah.
       Kekurangan:
1.      Pelafalan perlu dilatih kembali.
2.      Peran sutradara harus dimaksimalkan untuk memabatasi alur atau cerita yang akan disajikan, pengadeganan, dan bloking.
3.      Karakter masing-masing tokoh dapat dimaksimalkan sehingga tidak sia-sia.
4.      Konflik perlu digarap agar grafiknya tidak naik turun dengan drastis.
D.      SMAN 1 BOJA “NEMBUS WATES”
Kekuatan:
1.      Kekuatan lakon ini adalah kerealitasan cerita. Artinya tokoh memerankan sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka.
2.      Lakon ini dipentaskan dengan natural sehingga lakon ini sangat mudah dinikmati dan ide tersampaikan kepada pemirsa.
Kekurangan:
1.      Pelafalan harus dilatih.
2.      Dialog dapat digarap lebih baik dan dinamika yang lebih dinamis.
3.      Lighting pada beberapa adegan agak mengganggu, sehingga dapat disiasati lebih cermat.


E.       SMA PMS KENDAL “SUNARTI”
Kekuatan:
1.      Kelompok ini menyuguhkan fenomena yang terjadi di masyarakat.
2.      Kekauatan karakter masing-masing tokoh sangat kuat sehingga mampu membawakan dengan apik.
3.      Dinamisasi konflik cukup detail.
Kekurangan:
1.      Pelavalan perlu dilatih.
2.      Dialog mampu digarap lebih tajam dan dalam.
3.      Dramatisasi dapat dibuat yang lebih kuat, sehingga karakter pemain yang kuat dapat maksimal.
4.      Eksekusi konflik akhir dapat digarap lebih detail dan mengena pada pemirsa.

F.       SMK DIPONEGORO SALATIGA “ONTRAN-ONTRAN PADESAN”
Kekuatan:
1.      Monolog di awal sangat kuat sehingga mampu menimbulkan efek untuk adegan-adegan berikutnya.
2.      Lakon ini sanagat memuat pitutur, namun disajikan tanpa terasa ‘menggurui’.
3.      Ide cerita sangat bagus dan esensial.
Kekuarangan:
1.      Pelafalan perlu dilatih.
2.      Perlu optimalisasi vokal dan karakter tokoh.
3.      Ada beberapa konflik tanpa eksekusi akhir.

G.      MA SALAFIYAH KAJEN “YEN”
Kekuatan:
1.      Karakter antar tokoh cukup kuat.
2.      Kelompok ini menyajikan drama yang penuh dengan simbol.
3.      Kekuatan dialog antar tokoh menunjang sampainya id eke pemirsa.
Kekurangan:
1.      Penonton dipaksa atau perlu waktu untuk memahami konsep yang pintaskan dan ingin disampaikan.

MINGGU, 18 DESEMBER 2011
A.      SMAN 2 SEMARANG “MALING KOTANG”
Keunggulan:
1.      Pemilihan cerita yang tepat dan transformasi cerita yang unik.
2.      Dialog yang sanatai dan ringan sehingga dapat menyampaikan ide dengan cepat dan tepat.
3.      Ide ceritanya dekat dengan dunia remaja.
Kekurangan:
1.      Sisi keaktoran perlu digarap lebih kuat sehingga mampu menjadi penguatan cerita yang sudah unik ini.
2.      Pelafalan perlu dilatihkan.
3.      Umpan-umpan konflik di tiap adegan perlu dipertajam.

B.       SMAN 1 KLIRONG “WEK-WEK”
Keunggulan:
1.      Kekuatan kelompok ini terletak pada penjiwaan masing-masing tokoh.
2.      Dialog simpel namun mampu dibawakan dengan apik dan terasa mantap.
3.      Permainan logika-logika tingkat tinggi dan keabstrakan ide cerita yang memancing penasaran bagi penonton.
Kekurangan:
1.      Eksekusi ending agak menurunkan grafik.
2.      Grafik adegan pengadilan di kelurahan perlu digarap yang lebih kuat sehingga ketegangan penonton lebih tinggi.

C.      SMAN 1 KEMBANG “PANASE JAGAD DESAKU”
Keunggulan:
       Mencoba mengangkat isu atau konflik di daerah.
Kekurangan:
1.      Musik pengiring kurang sesuai dengan adegan dan sering dominan sehingga menutupi adegan.
2.      Kekuatan vokal tokoh perlu dilatih dan dikuatkan.
3.      Dialog dapat digarap lebih enjoy namun berbobot.
4.      Moving dan blocking perlu dibesut dengan detail.
5.      Dinamisasi konflik perlu disentuh.

D.      SMAN 1 PANINGGARAN “LUH”
Keunggulan:
1.      Kenaturalan pementasan menjadi nilai tambah dari kelompok ini.
2.      Tokoh Ragil sukses menjadi ikon kelompok ini.
Kekurangan:
1.      Perlu memperhatikan tata teknis pentas.
2.      Karakter Laras dapat dikuatkan sedikit lagi untuk sempurna.
3.      Dramatisasi lakon ini dapat diolah lebih focus sehingga lebih ‘nges’.
4.      Kehadiran narator belum terasa dan kurang maksiamal.
5.      Eksekusi ending sudah bagus grafiknya, namun menurun karena tertutup narator.

E.       SMAN 1 AMBARAWA
Keunggulan:
1.      Kekuatan adegan ini pada komunikasi antartokoh.
2.      Konsep dasar yang ingin disampaikan cukup baik.
3.      Nilai lebih kelompokini adalah gerak dan lagu.
Kekurangan:
1.      Perlu ada penonjolan fokus ide yang ingin disampaikan.
2.      Permainan dialog kurang mengalir karena timing kadang tidak tepat.

F.       SMAN 7 SURAKARTA
Keunggulan:
1.      Starting poin di awal pertunjukan sangat mengejutkan.
2.      Karakter tokoh merata sehingga tiap adegan benar-benar hidup.
3.      Kekuatan dialog terletakpada ketepatan timing percakapan.
4.      Garap adegan sangat detail, komunikasi antar tokoh sangat tepat, dan property dimanfaatkan maksimal.
Kekurangan:
Eksplorasi adegan prostitusi bisa lebih digarap dengan luwes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar